REPUBLIKA.CO.ID,Dengan susah payah seniman Laurie Nona membuat desain Torres Strait Islander yang rumit. Desain tersebut menceritakan kisah leluhurnya ratusan tahun lalu.
Ia pun membuat tanda tersembunyi yang unik, layaknya sebuah barcode untuk mencegah mereka yang akan memalsukan produk desainnya. "Tidak ada yang punya sidik jari sama seperti kita. Dari awalnya, begitulah cara kita melindungi hasil karya sendiri dan bisa mencari tahu mereka yang memalsukannya," katanya.
"Kita harus mematenkannnya sendiri ... jadi ada bukti yang menyatakan, 'ini adalah hasil karya saya'."
Laurie mengikuti gerakan yang mengecam mereka yang membuat hasil karya mengatasnamakan desain tradisional Aborigin. Karya seni dan desain Aborigin ini tidak dilindungi sebagai kekayaan intelektual dalam hukum Australia.
Pameran tahunan Seni Aborigin yang digelar di Darwin akan dimulai akhir pekan ini (12/08), menampilkan karya-karya dari 66 pusat seni dari seluruh Australia. Para pembeli dihimbau untuk membeli hasil karya secara etis, dimana sejumlah perusahaan membuat desain Aborigin yang diproduksi secara masal di kawasan Asia, sebelum akhirnya dijula ke toko-toko souvenir di Australia.
"Jika ada yang menjiplak karya seni seseorang dan mencetaknnya di baju, itu adalah pelanggaran. Tapi jika ada yang membuat desain Aborigin untuk dibuat di pabrik di China, tapi tidak menjiplaknya secara langsung, maka ini tidak terlindungi," ujar Gabrielle Sullivan, Direktur Eksektutif dari Indigenous Art Code.
Penjualan karya seni Aborigin yang palsu adalah praktik berbahaya, meski tidak ilegal, tapi tindakan ini tidak bermoral, tegasnya.
"Ini melanggar budaya, mengambil peluang ekonomi, tapi juga mengendalikan sumber yang dikelola [seniman] dan mereka tidak tahu bagaiman ini dilakukan," katanya.
Seni Aborigin didefinisikan oleh bagaimana seni ini mewakili hubungan budaya, kata Laurie. Menurutnya cukup 'gila' karena kekayaan intelektual ini tidak mendapat perlindungan hukum.
"Seni adalah cerita, identitas kita, siapa dirii kita, ini adalah budaya yang hidup," katanya.
Ia mendesak Pemerintah Federal Australia untuk memberikan perlindungan yang lebih ketat bagi para seniman.
"Ini benar-benar mengambil 'inti' dalam diri Anda, benar-benar meredam jiwa, karena menceritakan kisah nyata, dan tiba-tiba adalah orang-orang yang mengambil pola dan warna hanya demi menciptakan karya palus agar bisa menghasilkan uang," kata Laurie.
"Benar-benar membuat kita marah, karena pemalsu mengambil sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan mereka, dan mereka tidak tahu apa artinya," ujarnya. "Mereka mencuri, mereka menghina, apa pun namanya. Mereka melakukan semua yang salah."
Indigenous Art Code: Rose Ayres
'Bukan dari Australia, ini dari Bali'
The Rocks, Circular Quay, dan Paddy's Markets, di kota Sydney, atau di kota Melbourne di sepanjang Swanston Street, hingga di Cairns, Darwin, dan Alice Springs. Inilah sejumlah lokasi wisata kelas atas yang banyak menjual tiruan seni Aborigin, ujar Gabrielle.
Ia merasa murka melihat banyaknya penjualan barang-barang seni yang memuat budaya Aborigin. Ketika ditanya, beberapa pemilik toko "dengan jujur berkata, 'bukan dari Australia, ini dari Bali di Indonesia'," katanya. "Salah satu toko di Melbourne mengatakan, 'Barang yang asli ada dua rak, sisanya tidak'."
Mewakili seniman Aborigin, Gabrielle sedang melobi Pemerintah Federal Australia untuk mendapatkan perlindungan lebih bagi budaya dan karya mereka. "Banyak omong kosong di sana," katanya.
Seringkali, konsumen mungkin tidak tahu bagaimana membedakan antara karya asli dan palsu, katanya, atau mereka berpikir bahwa seni yang asli terlalu mahal. "Itu mitos," kata Gabrielle.
"Sebuah didgeridoo palsu mereka jual seharga $400, sekitar Rp 4 juta, tapi Anda bisa mendapatkan yidaki asli dari pusat seni Buku-Larrnggay Mulka di Yirkala seharga $400, atau dari Beswick seharga $200, sekitar Rp 2 juta.
"Bisa ditemukan barang-barang alternatif yang tetap asli, atau jika tidak ada mungkin karena produknya kurang tepat, misalnya tidak ada tempat penyimpanan botol anggur dari suku Aborigin."
Foto: Koleksi Indigenous Art Cod
'Penuh keserakahan'
Perdagangan karya seni palsu tidak hanya berdampak ekonomi, tapi juga bisa mengganggu praktik budaya, kata Abe Muriata, seniman Girringun Arts di Queensland utara.
"Banyak membuat kerusakkan ... Anak-anak muda kita, bisa melihat karya seni yang indah di toko-toko di pusat kota, kemudian berkata pada diri mereka sendiri, 'Saya bisa membuatnya dan menghasilkan uang dari itu'," katanya. "Ini adalah sejarah, sebuah tradisi yang kuno, dan jika kita kehilangannya, maka sangat menyedihkan."
Menurutnya perlu ada upaya terpadu untuk mendidik konsumen agar tidak membeli barang yang tidak asli.
"Saya berpikir [seniman] benar-benar dieksploitasi, budaya mereka dieksploitasi ... itu menyakitkan hati mereka," katanya. "Ini merampas rakyat ... Tidak ada budaya, hanya keserakahan."
Ia memperingatkan Pemerintah Federal Australia bahwa melindungi seni asli sama dengan melindungi warisan semua orang Australia. "Itu warisan Australia, tahukah Anda, 60.000 tahun, jangan biarkan hilang dicuri," katanya.
Foto: Koleksi ANKA
Aborigin Art Fair siap untuk pamerkan budaya
Pameran Seni Aborigin Darwin (DAAF), menekankan etika dalam perdagangan dan sejumlah seniman memandangnya sebagai wadah yang dapat mendukung penjualan hasil karya mereka, yang biasanya hanya lewat pusat seni komunitas.
Pameran tersebut membantu mempromosikan seni mereka, dengan tujuan keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Namun, Claire Summer, direktur eksekutif dari pameran mengatakan ia khawatir dengan seniman yang terancam dan tidak memiliki hubungan dengan pusat seni.
"Seorang seniman memiliki hak untuk diwakili agar memastikan pekerjaan mereka dijual dengan cara yang etis, dan jika seorang seniman tidak tahu apa hak mereka, maka mereka mungkin tidak tahu jika sedang ditipu," katanya.
"Ketika Anda membeli langsung dari seorang seniman di pinggir jalan, Anda tidak tahu apa-apa tentang karya itu, Anda tidak tahu dari mana artis itu berasal ... dan Anda tidak tahu apakah Anda membayar cukup artis tersebut."
"Artis itu mungkin hanya menginginkan $50, senilai Rp 500 ribu, sehingga mereka bisa mendapatkan makanan, padahal seharusnya mereka menerima $2.000, sekitar Rp 20 juta, untuk pekerjaan itu."
Foto: Koleksi Jack Bullen
'Menghormati apa yang dibeli'
Pusat-pusat seni dapat mengembangkan karir para seniman, membuat katalog karya-karya mereka, dan mencatat serta melestarikan rincian budaya mereka seperti asal daerah, nama suku, dan bagian mereka.
"Ini lebih dari sekadar sebuah karya seni, ini adalah pelestarian budaya dan penghormatan darimana artis itu berasal," kata Claire.
DAAF telah berkembang dari memamerkan 16 pusat seni di tahun pertamanya untuk menjadi tuan rumah 66 tahun ini.
Di tahun 2016, lebih dari 10.000 orang mengunjungi pameran tersebut dengan nilai perdagangan senilai $2 juta.
Seratus persen dari hasil penjualan kembali kepada pusat seni dan para seniman, seperti yang dikatakan Claire.
Artis Regina Wilson, dari Durrmu Arts di Peppimenarti, mengatakan seni adalah cara utama agar budaya dan cerita tradisional dapat disebarkan dan diturunkan lintas generasi.
"Saya ingin memberitahu para wisatawan, jika mereka membeli sebuah lukisan, hormatilah apa yang mereka beli, dan memberikan sejumlah uang yang tepat kepada para seniman, serta menjaganya dengan cara yang khusus."
Foto: Koleksi ANKA
Diterbitkan pada 10/08/2017 pukul 15:15 AEST. Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.