REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memperluas rute larangan melintas untuk pengendara sepeda motor. Setelah sebelumnya, pengendara sepeda motor dilarang melewati jalur protokol seperti MH Thamrin hingga Medan Merdeka, kini rute larangan bagi sepeda motor akan ditambah.
Nantinya, pengendara motor tidak boleh melintasi Jalan Sudirman, Rasuna Said, dan Gatot Subroto. Respons beragam disampaikan para pengendara motor terkait rencana tersebut. Ada yang setuju atas program itu dengan alasan demi mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum. Namun, banyak juga yang tidak setuju. Pengendara yang tidak setuju menilai perluasan larangan itu bisa menghambat mobilitas mereka dalam menjalankan pekerjanya serta dapat menambah bengkak biaya operasional yang dikeluarkan.
"Karena kan setiap kita melintas jalur yang dilarang kita harus parkir. Nah uang untuk bayar parkir itu yang membuat kantong kering," kata salah satu pengendara motor, Putra (30 tahun) saat ditemui di bilangan Kuningan, Jakarta, Kamis, (10/8).
Apalagi, kata dia, tarif parkir di setiap jalur-jalur bisnis selalu mahal mengingat gedung-gedung di kawasan itu menerapkan sistem waktu atau berapa lama kendaraan berada di tempat parkir. Semakin lama kendaraan berada di tempat parkir, maka semakin besar biaya parkir yang harus dikeluarkan. "Kalau dikalikan satu bulan kan lumayan," kata dia.
Pria yang bekerja sebagai petugas jasa pengiriman barang ini berharap perluasan rute larangan motor hanya wacana atau sebatas uji coba, tidak sampai diberlakukan seperti di Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka. Pasalnya, kata dia, jika benar diberlakukan maka akan menyulitkan pengendara motor, terutama yang bekerja sebagai petugas antar dan jemput dokumen."Nggak usah-lah larang-larang kalau alasannya mengurangi macet semua kendaraan aja dilarang," ujarnya.
Julian (33 tahun) juga tidak setuju dengan rencana itu. "Pasti repot buat pengendara motor," kata dia.
Meski tidak setuju, Julian percaya bahwa maksud dan tujuan Pemrov DKI Jakarta tersebut untuk membuat warganya nyaman. Untuk itu, dia memberikan solusi agar rencana tersebut tidak menuai pro dan kontra di masyarakat. Menurut Julian, seharusnya semua infrastruktur terkait yang ada di seluruh DKI dibenahi sebelum pemerintah mengeluarkan program perluasan larangan motor melintasi jalur protokol.
Infrastruktur seperti angkutan umum, jalan, trotoar, halte, dan tempat-tempat parkir sangat mendukung kelancaran pembangunan MRT, LRT, jalan layang, dan jalan tembus di bawah. "Kalau semuanya sudah oke, jalanan lancar, angkutan umum memadai dan nyaman untuk digunakan, dengan sendirinya pengguna kendaraan bermotor juga akan berkurang," kata dia.
Salah seorang pengendara motor lainnya, Safari Sidakaton, juga menolak rencana diperluasnya larang motor melintas di jalur protokol. Katanya kebijakan itu merupakan salah satu bentuk diskriminatif terhadap penguna motor yang rata-rata orang dengan ekonomi menengah ke bawah. "Bagaimana mau kerja jika dibatasi. Sementara angkutan umum juga belum terintegrasi dengan baik," ujarnya.
Daripada membuat aturan itu, dia menyarankan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat beserta jajarannya membenahi angkutan umum terlebih dulu yang bisa terintegrasi dengan angkutan lainnya. Dengan begitu, pengguna motor juga bisa beralih ke angkutan umum.
Meski menuai pro dan kontra, pemerintah tetap akan menerapkan larangan perluasan motor melintas jalur protokol. Rencananya uji coba akan dilakukan pada awal September.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Widjiatmoko, tidak sependapat apabila rencana tersebut dituding akan menyulitkan dan menambah beban tarif parkir pengendara motor. "Mohon bedakan antara kantong parkir dengan fasilitas parkir," kata dia.
Pengaturan yang dilakukan tidak hanya sekadar pembatasan, tetapi juga peralihan dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Sigit mengatakan, kantong parkir yang dimaksud adalah fasilitas park and ride yang dikelola oleh UP Perparkiran Dishub dengan tarif murah dan sekali bayar. Park and ride ini telah diintegrasikan dengan sistem angkutan umum massal (SAUM).
Dia meminta semua warga DKI atau di luar DKI mendukung program pemerintah untuk mengatasi masalah kemacetan dengan beralihnya penggunaan transportasi pribadi ke transportasi umum. "Sekali lagi pengaturan yang dilakukan tidak hanya sekadar pembatasan, tapi yang utama adalah terjadinya shifting dari kendaraan pribadi ke angkutan umum," ujar Sigit.