REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas Muslim Campa atau juga dikenal dengan sebutan suku Cham, dahulu pernah menghiasi catatan sejarah di kawasan Indocina. Namun, nama besar mereka itu kini seakan-akan tenggelam seiring perjalanan zaman.
Masyarakat Cham atau urang Campa adalah sebuah kelompok etnis di Asia Tenggara. Persebaran mereka umumnya terkonsentrasi di Provinsi Kampong Cham di Kamboja, serta sejumlah daerah di Vietnam Tengah, seperti Phan Rang-Thap Cham, Phan Thiet, Kota Ho Chi Minh, dan An Giang. Hari ini, suku Campa membentuk komunitas Muslim terbesar di kedua negara tersebut.
Selain itu, terdapat pula sekitar 4.000 penduduk etnis Cham yang tinggal di Thailand. Sebagian besar di antaranya telah pindah ke wilayah selatan Negeri Gajah Putih itu untuk mencari nafkah. Antara lain, ke Provinsi Pattani, Yala, Songkhla, dan Narathiwat. Secara keseluruhan, jumlah mereka saat ini diperkirakan mencapai 400 ribu jiwa.
Beberapa literatur mengungkap, etnis Cham yang ada sekarang merupakan sisa-sisa dari Kerajaan Campa yang pernah menguasai wilayah tengah dan selatan Vietnam dari abad ketujuh hingga ke-18.
Sementara itu, dari sisi antropologis, mereka disebut-sebut memiliki kaitan erat dengan bangsa-bangsa Austronesia lainnya, seperti Melayu, Filipina, dan Indonesia. Orang Campa menggunakan bahasa Cham ketika berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa tersebut masuk ke dalam rumpun bahasa Malayo-Polinesia. Karakteristik ini membuat masyarakat Cham menjadi berbeda dengan sebagian besar penduduk Indocina lainnya yang merupakan penutur bahasa Austroasiatik (Viet, Khmer, dan Monik).
Sejarawan Anne-Valerie Schweyer berpendapat, nenek moyang orang Campa berkemungkinan besar berasal dari Malaysia, Indonesia, atau Borneo (Pulau Kalimantan). “Mereka telah melakukan perdagangan dengan penduduk Vietnam dan Kamboja sejak berabad-abad yang lampau,” ungkap Schweyer dalam Ancient Vietnam: History, Art and Archaeology.