REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya melaporkan setidaknya 24 orang telah tewas dalam insiden kekerasan pascapemilihan presiden (pilpres) di negara tersebut. Bentrokan dan kekerasan terjadi karena kelompok oposisi mengklaim terjadi kecurangan dalam pilpres kali ini.
Pada pilpres yang diselenggarakan awal pekan ini, pejawat Uhuru Kenyatta kembali terpilih sebagai presiden Kenya. Namun, hasil tersebut dikecam oleh kelompok oposisi yang dipimpin Raila Odinga. Odinga menuduh Kenyatta melakukan kecurangan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara.
Tak ayal, hal ini berbuntut pada bentrokan antara kelompok pendukung, aparat keamanan, dan oposisi. Seperti dilaporkan laman Aljazirah pada Ahad (13/8), polisi melepaskan tembakkan untuk membubarkan pemrotes hasil pilpres yang memblokir jalan dan membakar barikade di Nairobi.
Di Kisumu, sebuah daerah yang dikuasai kubu oposisi, kerusuhan masih berlanjut di jalanan. Mereka berteriak dan mengklaim bahwa kemenangan pilpres telah direnggut dari tangan mereka oleh Kenyatta.
Proses pilpres di Kenya memang selalu menyisakan ketegangan dan suasana yang mencekam. Hal ini terjadi terutama sejak digelarnya pilpres pada 2007. Kala itu kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden adalah Uhuru Kenyatta dan William Ruto.
Keduanya memanfaatkan latar belakang etnis masing-masing untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Keduanya bahkan dituding menyebarkan hasutan kebencian agar melanggengkan jalannya menuju kekuasaan.
Tak heran pascapilpres 2007, bentrokan antaretnis di Kenya tak terhindarkan. 1.200 orang dilaporkan tewas dan ratusan ribu warga lainnya terpaksa mengungsi. Akibat kejadian ini, Kenyatta sempat dituntut oleh Pengadilan Pidana Internasional (ICC). Namun, belakangan tuntutan tersebut gugur karena minimnya bukti yang didapat.