Senin 14 Aug 2017 12:57 WIB
Analisis

Pertumbuhan Ekonomi, Daya Beli, dan Kebijakan Fiskal

Sunarsip
Foto: istimewa
Sunarsip

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sunarsip*)

Dalam sebulan ini, diskusi mengenai kinerja perekonomian kita terutama yang menyangkut isu pertumbuhan ekonomi dan daya beli cukup ramai diperbincangkan. Perbincangan ini awalnya dipicu oleh pemberitaan media terkait dengan banyaknya kios ritel yang tutup dan juga menurunnya kinerja penjualan sejumlah toko ritel.

Di sisi lain, publikasi BPS memperlihatkan bahwa ekonomi makro kita tumbuh baik yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen. Gejala ini seolah menunjukkan adanya dikotomi antara kinerja makro ekonomi dengan sektor riil.

Diskusi tentang dikotomi antara makro dan mikro ini semakin menarik karena tidak hanya melibatkan aspek ekonomi, tetapi juga aspek manajemen bisnis. Dalam pandangan beberapa kalangan manajemen bisnis melihat bahwa gejala 'melemahnya' kinerja sektor ritel tidak bisa menjadi indikasi terjadinya penurunan daya beli atau penurunan kinerja ekonomi. Ini mengingat, seiring dengan masuknya gelombang inovasi disruptif (disruptive innovation), pola bisnis pengusaha dan belanja masyarakat pun ikut berubah.

Sayangnya, pandangan dari sisi manajemen bisnis ini kurang didukung dengan data yang memadai. Misalnya, seberapa besar pangsa pasar dari bisnis yang berkembang akibat inovasi disruptif di Indonesia.

Kemudian, sejauhmana eksistensi bisnis yang muncul dari inovasi disruptif ini telah mampu menggeser model bisnis dan pola konsumsi masyarakat yang lama. Dari berbagai diskusi diakui bahwa inovasi disruptif memang telah 'mengganggu' keberadaan bisnis lama. Namun, pangsanya diperkirakan masih rendah.

Pekan lalu, BPS merilis data pertumbuhan ekonomi untuk triwulan II-2017. Hasilnya, selama triwulan II-2017 ekonomi kita tumbuh 5,01 persen. Kinerja pertumbuhan selama triwulan II-2017 tersebut sebenarnya baik, tetapi menjadi antiklimaks karena dinilai tidak mampu menjawab secara telak perdebatan soal dikotomi makro dan mikro ekonomi kita yang berkembang sebelumnya.

Terlebih, dari rilis BPS tersebut, pengeluaran konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95 persen, seolah mengkonfirmasi memang telah terjadi penurunan daya beli. Sebagai informasi, rendahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini telah terjadi sejak kuartal II-2015, dimana pertumbuhannya cenderung di bawah 5 persen.

Sejumlah kalangan menilai bahwa perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini disebabkan masyarakat memilih menabung bukan untuk konsumsi.  Data simpanan di perbankan memang naik.

Sampai dengan Mei 2017, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 11,18 persen (year on year/yoy), terjadi pada seluruh jenis simpanan. Namun, bila dilihat dari faktor yang mempengaruhinya, pertumbuhan DPK terutama disumbang oleh kenaikan aktiva dari luar negeri (DPK valuta asing) dan ekspansi operasi keuangan pemerintah pusat.

Kenaikan aktiva dari luar negeri ini terutama berasal dari dana repatriasi hasil pengampunan pajak (tax amnesty). Dengan kata lain, terlalu dini bila perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dikaitkan dengan kenaikan dari sisi simpanan.

Kesimpulannya, kita memang perlu mengakui bahwa telah terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi, terutama dari sisi pengeluaran konsumsi rumah tangga. Perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga tentu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi karena memegang pangsa terbesar dalam PDB kita yaitu sekitar 56 persen.

Namun, perlambatan pertumbuhan ekonomi tidak tepat bila dimaknai telah terjadi gejala stagnasi atau bahkan menuju terjadinya krisis. Perekonomian kita masih terlalu jauh menuju kondisi negatif tersebut. Perekonomian kita bahkan memiliki peluang tumbuh lebih baik bila mampu mengelola dan memanfaatkan momentum yang kini telah dibangun.

Saya berpendapat bahwa melambatnya pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga, memang ada faktor dari menurunnya daya beli. Namun, penurunan daya beli ini tidak terjadi pada seluruh kelompok masyarakat.

Saya memperkirakan bahwa penurunan daya beli ini terjadi pada kelompok masyarakat menengah ke atas. Penurunan daya beli yang dialami oleh kelompok masyarakat menengah atas ini terutama disebabkan oleh berakhirnya booming komoditas yang selama 10 tahun terakhir turut menopang konsumsi mereka. Booming komoditas inilah yang dalam 10 tahun terakhir sebelumnya menyebabkan meningkatnya penjualan properti, impor barang konsumsi, serta penjualan kendaraan bermotor.

Kini, setelah booming komoditas berakhir, mereka tidak lagi memiliki surplus untuk menopang konsumsi yang bukan kebutuhan pokok. Dengan kata lain, berakhirnya booming komoditas memang menyebabkan penurunan daya beli namun tidak sampai membuat mereka jatuh miskin.

Di sisi lain, kelompok masyarakat menengah ke bawah daya belinya cenderung stabil. Indikasinya terlihat dari rasio ketimpangan (Gini ratio) yang cenderung membaik dalam 2 tahun terakhir, yang memperlihatkan bahwa perbaikan rasio gini ini disebabkan oleh berkurangnya tingkat kemakmuran kelompok masyarakat kaya, sedangkan kemakmuran kelompok masyarakat menengah ke bawah relatif terjaga stabil.

Pemerintah kini sedang berupaya menggeser kue perekonomian ke luar Jawa melalui serangkaian percepatan pembangunan infrastruktur, terutama di kawasan timur Indonesia. Upaya ini merupakan salah satu kebijakan untuk memperbaiki struktur ekonomi kita, baik dari sisi suplai (supply side) maupun untuk mengurangi ketimpangan secara spasial.

Kebijakan ini tentunya akan berdampak pada terjadinya normalisasi ekonomi dalam jangka pendek.

Pengalihan sumber daya ekonomi ke luar Jawa pastinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah yang menjadi sasaran pembangunan. Sebaliknya, pengalihan sumber daya ekonomi ini berpotensi dapat mengurangi geliat perekonomian di Jawa dan daerah lain yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi.

Berkurangnya geliat perekonomian Jawa tentunya akan mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi nasional, karena Jawa memegang sekitar 58 persen PDB nasional. Sementara itu, efek positif dari relokasi sumber daya ke luar Jawa tidak akan signifikan bila belum diimbangi dengan masuknya investasi untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah sasaran pembangunan. Akibatnya, perbaikan ekonomi di luar Jawa tidak bisa mengkompensasi kehilangan pertumbuhan ekonomi di Jawa.

Dengan kata lain bahwa kebijakan pemerataan sumber daya ekonomi secara spasial tentunya tidak boleh mengabaikan wilayah-wilayah yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan. Daya beli masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang menjadi penopang pertumbuhan harus tetap dijaga agar kebijakan relokasi sumber daya ekonomi tersebut tidak menimbulkan ekses berupa menurunnya laju pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Saya melihat bahwa dari sisi fiskal terbuka peluang untuk mendorong kembali daya beli masyarakat. Sebagai informasi, dalam lima tahun terakhir ini pos 'pajak dikurangi subsidi atas produk' tumbuh signifikan setiap tahunnya, yaitu sebesar 15,05 persen (2012), 21,80 persen (2013), 5,08 persen (2014), 32,24 persen (2015), 19,31 persen (2016), dan sebesar 16,83 persen pada semester I-2017.

Seiring dengan pertumbuhannya yang tinggi tersebut, kontribusi 'pajak dikurangi subsidi atas produk' juga naik yaitu dari 2,63 persen terhadap PDB (2012) menjadi 3,57 persen (2016). Data ini memperlihatkan bahwa pemerintah memiliki ruang untuk untuk mendorong kembali daya beli masyarakat melalui sreangkaian kebijakan relaksasi fiskal.

*)Penulis adalah Chief Economist PT Bank Bukopin, Tbk. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement