REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tim Advokasi Novel Baswedan mengatakan pengungkapan aktor intelektual dalam penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan adalah tugas kepolisian, bukan tanggung jawab Novel sebagai korban. "Kami khawatir polisi akan membebani Novel untuk membuktikan siapa aktor intelektual di balik penyerangannya dalam pemeriksaan yang dilakukan di Singapura," kata salah satu anggota Tim Advokasi Haris Azhar melalui siaran pers diterima di Jakarta, Senin (13/8).
Menurut Haris, sangat tidak adil bila Novel dibebani untuk membuktikan aktor intelektual di balik penyerangannya karena dia merupakan korban dari peristiwa tersebut, bukan pelaku kejahatan. Apalagi, Novel saat ini masih menjalani pengobatan di Singapura yang memerlukan konsentrasi tinggi.
Pada Kamis (17/8), dia masih harus menjalani operasi besar untuk mata kirinya yang rusak parah akibat siraman air keras. Meskipun bersedia menjalani pemeriksaan dan bersikap kooperatif, tim kuasa hukum dan Novel meragukan polisi akan serius dalam menangani kasus tersebut. Hal itu karena mereka melihat ada banyak kejanggalan dalam penyidikan kasus tersebut.
Kejanggalan itu, antara lain, tidak ada sidik jari pada gelas yang menjadi wadah air keras dan polisi menyatakan orang yang mengintai rumah Novel hanya sekelompok "mata elang". Kejanggalan lain adalah polisi tidak melindungi identitas saksi penting, penyidikan berkembang sangat lambat selama lebih dari empat bulan, termasuk wawancara saksi korban untuk sketsa pelaku yang dilakukan setelah tiga bulan.
Karena itu, Tim Advokasi mendesak kasus yang dialami Novel diselesaikan melalui Tim Gabungan Pencari Fakta, bukan oleh kepolisian.