REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demikian juga dengan beberapa perkara dalam syariat Islam yang didiamkan dan dilarang untuk menanyakannya. Seperti firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu. Dan jika kamu menanyakan di waktu Alquran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Maaidah [5]: 101).
Perkara-perkara yang diistilahkan dalam ayat ini disebut ma'fu 'anhu. Perkara ini tak perlu dipertanyakan lagi karena tak ada unsur manfaat dan keilmuan dalam pertanyaan tersebut. Para sahabat dilarang menanyakan perkara-perkara tersebut kepada Nabi. Karena bisa jadi, akibat pertanyaan mereka tersebut malah akan memberatkan mereka.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang Islam yang paling besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang semula tidak diharamkan, kemudian diharamkan dari sebab pertanyaannya itu.” (HR Bukhari Muslim).
Inilah akibat bertanya yang mengada-ada. Seperti kisah si santri yang tidak sabar ingin mengetahui isi kotak yang diamanahkan padanya itu, akhirnya ia harus gagal menjalankan tugasnya. Si santri tak tahu harus berbuat apa. Apakah akan kembali pulang menjelaskan kepada kiainya bahwa ia telah melanggar pesan sang kiai? Atau ia harus menerangkan apa yang terjadi kepada kiai di kampung seberang? Atau ia harus menghabiskan waktu mencari kodok yang sekarang tak tahu di mana keberadaannya? Pastinya, hanya ada penyesalan dalam kalbu si santri.
Sifat bertanya yang mengada-ada ini lekat dengan sifat dan gaya orang Bani Israil. Seperti dikisahkan dalam surah al-Baqarah, Bani Israil suka bertanya hal-hal yang akhirnya menyulitkan dirinya sendiri. Awalnya, ia hanya disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ia bertanya, sapi betina yang seperti apa? Ia juga menanyakan soal warna serta spesifikasi detail tentang sapi yang disuruh. Akhirnya, ia harus terbebani mencari sapi yang hampir-hampir tak ditemuinya. Padahal, jika ia menjalankan saja syariat yang diperintahkan kepadanya, ia cukup menyembelih sapi betina jenis apa saja.
Perkara yang ma'fu 'anhu adalah pertanyaan yang bertujuan untuk menentang atau mencari-cari kesalahan, menanyakan perkara yang tidak penting dan tidak bermanfaat, atau untuk berkilah dalam menjalankan syariat. Ada saatnya, di mana umat Islam cukup mengimani saja apa yang telah diperintahkan kepadanya. Selanjutnya, Allah SWT Yang Maha Luas Ilmunya yang mengungkapkan hikmah di balik syariat yang diperintahkan-Nya.
Misalkan, bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa shalat dapat melancarkan sirkulasi darah dan mengurangi stres, puasa dapat menyehatkan, dan seterusnya. Allah SWT pasti menunjukkan hikmah dari syariat yang diberikan-Nya. Sebelum itu, beriman dan jalankanlah perintah-Nya tanpa harus bertanya ini dan itu.
Disarikan dari Dialog Jumat Republika