REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melacak keberadaan bangsa Turki dalam sejarah Islam bisa dilakukan antara lain melalui kajian hadis dan sirah Nabi Muhammad SAW. Mahmud al-Adl dalam artikelnya yang berjudul at-Turkaman wa Maukib al- Hadlarah al-Islamiyyah mengatakan keterlibatan bangsa Turki membangun peradaban Islam sejak masa Rasulullah SAW.
Rasulullah pernah berperang bersama mereka di beberapa peperangan, seperti Perang Khaibar, meski jumlah mereka tak banyak. Suatu ketika, Rasulullah saat Perang Khaibar, pernah ditanya oleh para sahabat. Rasul ketika itu terlihat tengah berjalan memutar ke perkemahan para sahabat.
Rasul menjawab,”Aku baru saja mengunjungi dan bercengkerama di perkemahan orang-orang Turki.” Tak dijelaskan pasti, kapan dan dari suku Turki manakah, mereka berasal.
Ketika kaum Muslimin Arab mencapai Amu Darya (wilayah Afghanistan, Tajikistan, Turk menistan, dan Uzbekistan sekarang— Red) pada 651, mereka berhasil mengalahkan raja terakhir Persia dari Dinasti Sasaniyah, Yezdigerd III. Selanjutnya, mereka berusaha keras menundukkan bangsa Turki pada abad ketujuh dan kedelapan.
Namun, upaya bangsa Arab untuk menaklukkan bangsa Turki tidak pernah membuahkan hasil ketika itu. Watak keras orang-orang Turki sebagai bangsa nomaden yang menghuni daratan Asia Tengah selama berabad-abad membuat mereka sulit untuk ditundukkan.
Selama tiga abad, bangsa Turki berhasil menolak Islamisasi yang dilakukan bangsa Arab. Namun pada 830, Kekhalifahan Islam di bawah Dinasti Abbasiyah mulai merekrut orang-orang non-Arab untuk dijadikan sebagai prajurit budak atau dikenal juga dengan sebutan mamluk atau ghilman. Sebagian besar dari mereka berasal dari kalangan bangsa Turki.
Pada masa itulah, banyak orang Turki yang akhirnya masuk Islam, baik sebelum maupun sesudah menjadi tentara khalifah. Seiring perjalanan waktu, pengaruh tentara-tentara Turki tersebut di lingkungan istana Abbasiyah semakin menguat.
“Budak-budak militer itu pada akhirnya mendominasi pemerintahan dan membangun pola di seluruh kelas militer dunia Islam,” ujar sejarawan Barat, Bernard Lewis, dalam buku Race and Slavery in the Middle East.
Pada abad kesebelas, sekelompok tentara Turki Seljuk di bawah pimpinan Tughril Beg mendapat tugas dari Khalifah Abbasiyah untuk merebut kembali Kota Baghdad dari tangan Dinasti Buyid yang berpaham Syiah. Tugas itu berhasil dilaksanakan dengan baik oleh Tughril. Untuk menghargai jasanya tersebut, khalifah akhirnya menjadikannya sebagai menantu.
Secara perlahan, pengaruh bangsa Arab semakin melemah seiring meredupnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Bangsa Turki pun mulai muncul sebagai kekuatan Islam yang baru. Pada 1037, Tughril Beg resmi mendirikan Kesultanan Seljuk di Persia.
Pada masa selanjutnya, wilayah kesultanan Turki ini mencakup dari tanah Hindu Kush di sebelah barat hingga Anatolia di timur, dan dari Asia Tengah di utara hingga Teluk Persia di selatan. Sayangnya, invasi yang dilakukan bangsa Mongol pada abad ke-12 menurunkan pamor kejayaan Dinasti Seljuk. Kesultanan ini resmi bubar pada 1194, dan kemudian terpecahpecah ke dalam kerajaan-kerajaan kecil.