REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, tertangkapnya Panitra Pengganti (PP) PN Jaksel dan pengacara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan indikator tidak berhasilnya reformasi hukum. Khususnya penegakan hukum di peradilan secara umum.
Menurutnya, kejadian tersebut juga menunjukan, sejauh ini jika pun ada reformasi hukum, hanya untuk mengelabuhi masyarakat. "Ini terjadi karena program-program reformasi hukum hanya dilaksanakan sebagai performa atau kamulfase atau pura-pura atau seolah-olah saja," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (22/8).
Fickar melanjutkan, sejauh ini reformasi hukum hanya menyentuh kulit atau permukaannya, dan lebih banyak selebrasinya. Sedangkan substansinya, atau mental dan budaya hukum aparatur penegak hukum, tidak tersentuh sama sekali.
"Coba anda berurusan dengan peradilan, kebiasaan (suap-menyuap) itu masih tetap ada dan bahkan nilainya sudah lebih besar. Hanya saja berlangsung secara sopan, seolah-olah kesepakatan tahu sama tahu antara peradilan dan stakeholdernya," ucap Fickar.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (21/8). Selain panitera pengganti berinisial T, KPK juga menangkap tiga orang lain dalam OTT tersebut. Uang Rp 300 juta juga turut diamankan, dimana uang tersebut diduga uang suap penanganan perkara perdata.