REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebuah workshop pendidikan yang melibatkan guru dari Australia dan Indonesia dilangsungkan di Yogyakarta belum lama ini. Mereka belajar budaya lokal yang bisa digunakan untuk pelajaran di sekolah masing-masing. Salah satu penggagas workshop Novi Candra menuliskannya untuk Australia Plus.
Ini adalah tahun keempat dua orang guru dari Clayton North Primary School (CNPS), Victoria (Australia) bekerja sama dengan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) bertandang ke Yogyakarta. Tujuannya untuk melakukan workshop pelatihan guru dalam menciptakan suasana sekolah yang positif, menyenangkan dan mendidik karakter.
Workshop kali ini ditekankan pada melatih ketrampilan para guru dalam menumbuhkan karakter di sekolah, juga manajemen perilaku anak-anak menggunakan konsep-konsep sekolah menyenangkan. Workshop yang dilakukan oleh GSM ini memang dirancang unik dibanding pelatihan lainnya di Yogyakarta.
Keunikan pertama adalah biasanya sekolah ditunjuk oleh Dinas Pendidikan untuk ikut pelatihan, namun untuk ini mereka harus mengikuti seleksi. Kedua, jika biasanya pelatihan guru dilaksanakan di hotel, maka pelatihan di GSM dilaksanakan di sekolah–sekolah yang dengan sukarela menawarkan diri.
Keunikan ketiga, ini adalah workshop swadaya dari para guru sendiri baik guru Indonesia maupun guru Australia. Kalau biasanya workshop guru di Indonesia, para guru diberi uang transpor, maka di workshop ini para guru justru iuran sendiri untuk makan siang menggunakan dana operasional sekolah.
Joanne Malorry Weston belajar menari bersama guru lainnya. Foto: GSM
Sementara dari pihak Australia, guru-guru yang telah datang ke Indonesia beberapa kali ini menggunakan biaya mereka sendiri. Ini semua dilandasi pada pemikiran bahwa guru dan sekolah adalah komunitas yang berdaya dan mampu memberdayakan diri sendiri bahkan komunitas lain.
Namun demikian ada keunikan baru yang tidak ditemui di pelatihan sebelumnya. Yakni pertama, banyaknya keterlibatan sekolah negeri dibandingkan sekolah swasta yang mendaftar dan lolos seleksi serta keterlibatan sekolah-sekolah lain dari luar Propinsi Yogyakarta.
Mereka mengirimkan 3 hingga 5 gurunya untuk mengikuti 5 hari pelatihan. Mereka berasal dari sekolah di Kota Semarang, Temanggung, Rembang dan Salatiga dan bahkan ada beberapa sekolah yang mendaftar yang berasal dari Kalimantan hingga Sulawesi.
Yang kedua adalah kesempatan belajar bersama dan bertukar materi khususnya mengenai penumbuhan karakter di budaya masing-masing. Para guru Indonesia mendapat ilmu dari guru Australia tentang bagaimana melatih implementasi karakter dasar anak-anak di sekolah Australia di hari 1-3.
Di hari ke-4 giliran guru Indonesia melatih dan mempresentasikan penumbuhan karakter anak-anak melalui kesenian dan budaya lokal yang dimiliki Indonesia seperti tari tradisional Jawa yang dilatihkan SDN Serayu Yogya, musik angklung yang diajarkan oleh SD Muhammadiyah Mantaran Yogya dan membatik yang dikenalkan oleh SD Lab UNES Semarang.
Selain itu mereka juga dikenalkan berbagai permainan tradisional seperti egrang dan dakon saat mereka melakukan workshop di SDN Karangmloko 2 Yogya.
Josie Burt salah satu guru Clayton Nort Primary School (CPNS) bermain angklung. Foto: GSM
Josie Burt salah seorang guru CNPS tampak takjub mengetahui betapa kayanya budaya Indonesia. "Tampaknya mudah menari tarian Jawa, tetapi sebenarnya memerlukan ketrampilan tinggi dan juga ketekunan," begitu kurang lebih ujarnya dalam Bahasa Inggris.
Guru lainnya Joanne Mallory Weston juga terkesan dengan nilai-nilai karakter yang tersimpan pada setiap kesenian Indonesia, seperti Tari Klasik Jawa yang melatih kesabaran dan kepekaan, juga membatik yang sangat bermanfaat bagi regulasi emosi.
Mereka terlihat sangat menikmati setiap kegiatan budaya yang dilatihkan hari itu, mereka asyik menari, bermain angklung dan mencoba membatik sampai proses finishingnya. Di akhir acara salah satu sekolah SD Lab UNES Semarang memberikan kenang-kenangan berupa canting kepada Joanne dan Josie.
Kedua guru Australia itu mengatakan bahwa mereka akan mencobanya saat di CNPS untuk pembelajaran sekaligus mengenalkan Indonesia di sekolahnya yang multikultur.
Sebagai seseorang yang menekuni bidang psikologi perkembangan dan pendidikan, saya memandang perlunya pendidikan Indonesia menggali kebudayaan lokal untuk menumbuhkan nilai-nilai kebaikan dan karakter anak-anak dengan tetap memperhatikan kesesuaian dengan perkembangan psikologi mereka.
Dalam kegiatan membatik misalnya, kegiatan membatik jumputan bisa saja menggunakan alat-alat bermain yang akrab dengan anak-anak, misalnya bola plastik. Selain tidak berbahaya, bola ini sesuai dengan perkembangan anak-anak dan disukai oleh anak-anak kelas bawah.
Dengan membatik, anak-anak melatih psikomotor halusnya dan merangsang otak di bagian limbik untuk mengelola emosinya. Maka membatik sangat bermanfaat dalam melatih kesabaran dan ketahanan diri.
Tarian tradisional selain bermanfaat untuk kesehatan fisik dan meningkatkan konsentrasi belajar, juga merangsang kepekaan.
Novi Candra juga adalah Dosen Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta. Foto: GSM
Bahkan dalam workshop para guru juga diminta untuk berkreasi memodifikasi tarian dengan tema tertentu seperti tema binatang atau tema cuaca, yang sangat mungkin nanti dapat dipraktekkan langsung di kelas-kelas mereka untuk menumbuhkan kreativitas anak-anak.
Jadi semua aktivitas penumbuhan karakter ini baik yang dari Australia ataupun Indonesia memiliki dasar-dasar psikologi perkembangan anak. Bahkan permainan tradisional sederhana seperti egrang mampu melatih empati anak-anak karena mereka berlatih bagaimana berjalan berhati-hati menggunakan bambu tanpa harus mengenai orang lain.
Diharapkan kegiatan seni dan budaya tidak hanya diajarkan sebagai kegiatan ekstra kurikuler, namun benar-benar memiliki porsi besar dalam intrakulikuler pembelajaran. Atau bahkan menjadi salah satu metode pembelajaran yang menjadi keunikan bangsa ini karena mampu diintegrasikan dengan penumbuhan karakter pada setiap refleksinya.
Guru Indonesia peserta workshop mengapresiasi workshop yang dilaksanakan GSM karena mendapat pengetahuan baru dan ketrampilan praktis bagaimana implementasi karakter dasar anak di sekolah gabungan antara hasil belajar dari sekolah Australia dan hasil penggalian budaya Indonesia sendiri.
Kegiatan ini memang dirancang agar guru dari dua negara mampu melakukan kolaborasi dan pengembangan bersama dalam pembelajaran dan penumbuhan karakter generasi kedua bangsa. Muhammad Nur Rizal, salah seorang pendiri GSM menegaskan bahwa kegiatan belajar bersama antara guru Australia-Indonesia ini dapat memberi manfaat pada kedua belah pihak.
Bagi guru Australia, materi dan kegiatan ini diharapkan mengayakan salah satu kurikulum Australia tentang ‘Understanding Asia’.
Sementara bagi guru dan sekolah Indonesia aktivitas ini juga diharapkan memberi kesempatan memiiki ketrampilan penumbuhan karakter yang komprehensif. Mulai dari membangun pola pikir sampai manajemen perilaku yang didapat dari budaya lokal untuk dikomunikasikan dengan ilmu yang didapat dari luar budayanya.
* Novi Candra, Dosen Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta dan salah seorang pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, sebelumnya Studi S3 di University of Melbourne. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.