REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin menyindir Amerika Serikat saat menanggapi rencana pembelian pesawat tempur Sukhoi oleh Jakarta. Ia mengatakan Kremlin siap bekerja sama dengan negara manapun tanpa menerapkan pra-syarat politik seperti yang sering dilakukan Washington.
"Kerja sama ini menunjukkan bahwa Rusia siap menjadi sekutu militer yang bisa diandalkan oleh Indonesia. Kami tidak menerapkan syarat-syarat politik tertentu untuk penjualan pesawat tempur ini, tidak seperti negara lain yang tentu Anda sudah tahu siapa," kata Galuzin kepada sejumlah wartawan di Jakarta, Rabu (23/8).
Sebelumnya pada Selasa (22/8), Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengumumkan bahwa Indonesia berencana untuk membeli 11 pesawat tempur Sukhoi SU-35 buatan Rusia senilai 1,14 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,3 triliun. Hampir setengah dari harga tersebut rencananya akan dibayar dalam bentuk komoditas seperti karet, kelapa sawit, dan kopi.
Meski tidak secara spesifik menyebut Amerika Serikat, ucapan Galuzin jelas ditujukan untuk Washington yang memang sering menjatuhkan sanksi sepihak kepada negara yang dianggap berbahaya.
Indonesia sendiri pernah menjadi korban embargo senjata Amerika Serikat karena diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia pada 1999 di Timor Leste yang saat itu hendak memisahkan diri dari Indonesia. Embargo itu baru dicabut pada 2006 lalu.
Selain itu, Amerika Serikat juga pernah menerapkan langkah serupa kepada Cina, Argentina, Iran, dan Rusia sendiri. Rusia saat ini tengah mencari pasar baru untuk industri pertahanan mereka yang kini harus menghadapi sanksi dari Uni Eropa dan Amerika Serikat terkait konflik di wilayah timur Ukraina.
"Kesepakatan pembelian senjata ini menunjukkan kepada publik Indonesia bahwa Rusia adalah sekutu yang bekerja sama dengan prinsip saling menghormati tanpa melibatkan persoalan politik," kata Galuzin.
"Kesepakatan ini tentu saja akan menguntungkan kedua negara," ucapnya.
Namun demikian, Galuzin mengabaikan fakta bahwa negaranya sendiri juga menerapkan embargo terhadap Pakistan dengan motivasi politik--persis seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Embargo itu sudah dicabut pada 2014 lalu.
Menurut majalah The Diplomat, sikap keras Moskow terhadap Islamabad sudah dimulai sejak masa Perang Dingin. Saat itu, politik luar negeri Pakistan lebih condong ke koalisi NATO, sementara Uni Soviet memilih India sebagai aksis politik regional di Asia Selatan.
Sementara itu di sisi lain, Amerika Serikat dan Rusia memang merupakan dua negara yang jarang akur. Kedua negara saling berseberangan dalam konflik di Suriah--di mana Moskow mendukung rezim Presiden Bashar al Assad sementara Washington ingin menggulingkannya--dan juga dalam krisis di Semenanjung Korea.