REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama disarankan untuk mengambil-alih manajemen PT First Anugerah Karya Wisata alias First Travel. Setelah diambil-alih, Kemenag perlu memasukkan orang-orang baru yang berkompeten dan terpercaya ke dalam jajaran manajemen biro perjalanan umrah yang merugikan sekitar 35 ribu calon jamaahnya itu.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira mengungkapkan, pengambilalihan perusahaan hanya untuk sementara waktu sampai para calon jamaah First Travel bisa diberangkatkan umrah.
"Solusi dari saya, sebenarnya pemerintah bisa mengakuisisi sementara waktu untuk membenahi manajemennya, memang ada uang yang keluar tapi itu bisa dilakukan dengan cara business to business," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (24/8).
Akuisisi itu, kata Bhima, bisa melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perhubungan atau melalui pembentukan anak usahanya. Diakui Bhima, tentu ada dana yang keluar. Tapi akuisisi ini bersifat jangka panjang. Sehingga perlahan pemerintah akan menerima dananya kembali. Sebab, dalam posisi seusai diakuisisi itu, First Travel mempunyai utang kepada pemerintah.
First Travel nantinya, kata Bhima, diwajibkan membayar utang dengan keuntungan dari biaya operasional yang diperoleh setelah akuisisi terjadi. Jangka waktu pembayaran utangnya pun bisa 10 hingga 15 tahun. "Saya kira ini prospek ke depannya bagus. Ke depannya bisa secara perlahan mencicil utang yang tadi. Jadi solusi sementara waktu ini di-takeover oleh pemerintah," tutur dia.
Bhima menjelaskan, sifat akuisisi tersebut mirip dengan upaya penyehatan perbankan. Upaya ini pada intinya untuk memberangkatkan jamaah yang sebanyak 35 ribu itu. Ketika First Travel sudah sehat dan total jamaah tersebut telah diberangkatkan, pemerintah cukup memilih apakah perusahaan akan dilempar ke pihak lain atau mengakuisisinya secara permanen.