Kamis 24 Aug 2017 22:23 WIB

DPR Minta Perbaikan Penentuan Harga Gas

Rep: Novita Intan/ Red: Winda Destiana Putri
Ladang gas, ilustrasi
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Ladang gas, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Polemik kenaikan harga jual gas ConocoPhillips Indonesia (COPI) dari lapangan Grissik kian memanas. Usai menuai kritik dari sejumlah pengamat, kini giliran anggota Komisi VII DPR RI mulai angkat bicara mengomentari keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

"Kalau harga yang dinaikkan itu adalah harga gas yang dijual ke luar negeri, tidak masalah karena akan meningkatkan penerimaan negara dan dari sisi pajak. Tapi yang jadi soal itu ketika yang dinaikkan gas untuk dalam negeri," ujar Anggota Komisi VII DPR Achmad Farial dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Kamis (24/8)

Di tengah masih rendahnya harga minyak dunia, Farial bilang sudah seharusnya pemanfaatan gas bumi tidak lagi dipandang sebagai komoditi dalam meraup penerimaan negara semata. Melainkan kata dia, paradigma atas pemanfaatan gas bumi harus digeser menjadi komoditi penggerak roda ekonomi khususnya bagi kalangan industri.

Dengan begitu, para pelaku industri dapat menikmati murahnya harga gas bumi guna meningkatkan produktivitas. Di samping penurunan harga jual gas juga diyakani bakal menekan biaya produksi yang berdampak lurus pada pembentukan harga barang dan jasa.

"Yang jadi masalah sekarang kenapa yang seharusnya harga gas di hulu turun, ini malah dinaikan? Kalau pemerintah mau fair harusnya harga di hilir yang diturunkan," tuturnya.

Sebelumnya, Jonan mengatakan bahwa kenaikan harga berpotensi meningkatkan penerimaan negara. Dalam siaran resminya, ia mengklaim perubahan harga jual gas COPI ke PT Perusahaan Gas Negara (Persero) di wilayah Batam berpeluang menambah penerimaan negara sebesar USD 19,7 juta atau berkisar Rp 256 miliar hingga kontrak jual beli gas berakhir di 2019.

Rinciannya, USD 11,4 juta dari komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Pajak Penghasilan (Pph) sebesar USD 8,3 juta.

Menanggapi hal ini, Farial pun meminta jajaran Kementerian ESDM dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjelaskan secara rinci dari pos mana saja potensi penerimaan negara bertambah.

"Kita tahu bahwa hitungan ini baru asumsi karena belum mempertimbangkan cost recovery dan insentif lain untuk COPI. Kalau sebatas menyebut angka, saya pikir tidak susah. Yang sekarang ada malah perusahaan negara yang dikorbankan," tandasnya.

Seperti diketahui, memanasnya isu kenaikan harga gas COPI bermula tatkala Menteri Jonan merilis surat bernomor 5882/12/MEM.M/2017 pada 31 Juli 2017. Dalam surat keputusan itu, Jonan mengizinkan COPI untuk mengerek harga jual gasnya ke PGN sebesar USD0,9 menjadi USD3,5 per mmbtu, atau naik 34 persen dari harga semula di angka USD2,6 per mmbtu.

Sementara selaku penyalur gas, PGN tidak diperkenankan menaikan harga jualnya ke konsumen jika mengacu pada Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Adapun faktor yang juga menjadikan isu ini memanas terletak pada momentum pengambilan keputusan yang dilakukan tak lama setelah Jonan menemui petinggi ConocoPhillips di Amerika Serikat akhir bulan lalu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement