REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pansus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Tim Pengacara mantan Bupati Sabu Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Yohanis D Rihi dan Petrus Bala Pattyona. Kedatangan tim pengacara tersebut ingin menyampaikan kepada Pansus Angket KPK mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sepak terjang KPK dalam menetapkan status tersangka hingga melakukan penangkapan terhadap kliennya.
“Kami sangat setuju apabila tim pengacara tidak berhenti melakukan upaya hukum, karena dari sisi hukum masih bisa dilakukan banding. Dalam konteks yang lain, menurut saya ada dua hal yang bisa dilaporkan dalam kasus ini, sebab alat-alat bukti, keterangan, maupun kesaksiannya cukup signifikan,” ucap Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (25/8).
Terkait konflik kepentingan yang terjadi, Agun mengatakan, itu bisa dibuktikan dengan rekaman yang dimiliki. Namun memang di luar konteks konflik itu, ada juga motif-motif tertentu didalam kasus tersebut.
Yohanis selaku pengacara mantan Bupati Sabu Raijua mengatakan, di ameminta agar oknum-oknum yang ada di KPK segera dibenahi. “Niat kami itu tidak bermaksud untuk menggulingkan KPK, tetapi dimaksudkan agar oknum-oknum di dalam tubuh KPK bisa dibenahi, sehingga tidak lagi menimbulkan perbuatan pelanggaran hukum lainnya,” tegas Agun.
Senada dengan Yohanis, Petrus Bala Pattyona juga menyatakan bahwa sebagai profesional, KPK tidak pernah menggunakan hukum acara, dan itu juga harus dibenahi. Petrus Bala mengatakan, selama pihaknya berurusan dengan KPK, untuk menemui tersangka sangat susah, tidak diizinkan mendampingi saksi.
Kemudian kalau seseorang menjadi tersangka, yang dizinkan untuk mendampingi hanya satu orang pengacara. Semua serba dibatasi. "Kalau memang ada aturan seperti itu, maka harus berimbang. KPK jangan berbuat sesukanya. Saya tidak benci KPK, yang saya mau agar aturan-aturan itu transparan dan berimbang,” tutup Petrus Bala.