Sabtu 26 Aug 2017 00:40 WIB

Terlibat Korupsi, Mantan PM Thailand Melarikan Diri

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ilham Tirta
Mantan PM Thailand Yingluck Shinawatra
Foto: AP/Manish Swarup
Mantan PM Thailand Yingluck Shinawatra

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Mantan perdana menteri Thailand, Yingluck Shinawatra dilaporkan telah meninggalkan negaranya dan pergi ke Singapura, Jumat (25/8). Kepergiannya memicu kontroversi sebab dirinya tengah menjalani proses persidangan atas tuduhan kelalaian tanggung jawab dan korupsi.

Yingluck diketahui sedang menjalani persidangan kasus korupsi yang dituduhkan kepadanya. Persidangan finalnya dijadwalkan digelar pada Jumat (25/8), dengan agenda pembacaan vonis. Namun, kuasa hukum Yingluck mengatakan bahwa kliennya tak dapat hadir karena menderita vertigo dan sakit kepala parah. Kuasa hukumnya pun meminta agar pengadilan menunda pembacaan vonis terhadap Yinluck.  

Tetapi alasan tersebut ditolak Cheep Chulamon, yakni hakim yang memimpin persidangan kasus korupsi Yingluck. Atas dasar ketidakpercayaan, Mahkamah Agung Thailand pun segera menerbitkan surat perintah penangkapan atas Yingluck. 

"Perilaku seperti itu (mangkir) dengan meyakinkan bahwa dia (Yingluck) merupakan risiko untuk penerbangan. Akibatnya, pengadilan telah menerbitkan surat perintah penangkapan dan menyita uang jaminan yang disetorkannya," kata pengadilan dalam pernyataannya. 

Namun setelah surat penangkapan diterbitkan, beberapa sumber di partainya, yakni Partai Puea Thai Shinawatra mengungkapkan bahwa Yingluck tampaknya telah meningglkan Thailand dan pergi ke Singapura. "Dia pasti telah meninggalkan Thailand," ungkap seorang anggota Partai Puea Thai Shinawatra. 

Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengaku terkejut mendengar kabar kepergian Yingluck dari negaranya. "Saya baru mengetahui dia tidak hadir di pengadilan. Saya telah memerintahkan pemeriksaan di pos-pos perbatasan untuk ditingkatkan," ujarnya. 

Kepergian Yingluck dari Thailand menyebabkan proses persidangan atas dirinya ditunda. Hakim memutuskan untuk menunda pembacaan vonis terhadap Yingluck hingga 27 September mendatang.

Yingluck merupakan perdana menteri wanita pertama Thailand. Ia mulai menjabat pada 2011 dan diberhentikan pada 2015. Adapun alasan pemakzulannya dikarenakan kasus korupsi yang dituduhkan kepadanya. 

Ia diduga terlibat kasus skema subsidi beras yang sempat dikampanyekannya sebelum menjabat sebagai perdana menteri Thailand. Ketika terpilih, Yingluck pun meluncurkan kebijakan pertanian untuk merealisasikan skema tersebut. 

Dalam kebijakannya, Yingluck memutuskan untuk memberikan subsidi kepada petani padi, yakni dengan menyerap hasil panen mereka dengan harga dua kali lipat lebih besar dari harga pasar. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi tingkat kemiskinan di pedesaan. 

Kendati memiliki tujuan yang baik, namun kebijakan itu justru memukul keras nilai ekspor beras Thailand. Beras-beras petani menumpuk di lumbung dan tak dapat dijual pemerintah. Hal ini menyebabkan Thailand merugi sekitar 8 miliar dolar AS. 

Kendati figur Yingluck cukup populer di kalangan masyarakat pedesaan di Thailand, namun kalangan yang bertentangan dengannya menilai bahwa kebijakan skema beras Yingluck terlalu mahal. Selain itu, skema tersebut juga sangat terbuka untuk diselewengkan dan dikorupsi. 

Selama menjalani proses persidangan, Yingluck berpendapat bahwa dirinya tak bertanggung jawab atas pelaksanaan skema terkait. Dia bersikeras bahwa dirinya adalah korban penganiayaan politik. 

Dalam perkembangan lain pada Jumat (25/8), mantan menteri Thailand Boonsong Teriyapirom menghadapi kasus serupa dengan Yingluck. Ia divonsi penjara 42 tahun sehubungan dengan skema subsidi beras.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement