REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla menulis puisi spesial untuk istrinya, Mufidah. Puisi romantis yang membuat gelak tawa ini ditulisnya sebagai hadiah untuk ulang tahun perkawinannya yang ke-50.
Perayaan ulang tahun emas Jusuf Kalla dan Mufidah, digelar di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Ahad (27/8) dengan penuh kebahagiaan. Seluruh keluarga besar, kerabat, tokoh tokoh nasional, pengusaha, dan pejabat negara hadir untuk memberikan ucapan selamat kepada Jusuf Kalla dan Mufidah.
Malam itu, Jusuf Kalla mengenakan stelan jas berwarna hitam lengkap dengan peci hitam. Sedangkan, istrinya, Mufidah mengenakan baju kurung berwarna merah muda lengkap dengan kain tenun berwarna emas yang disampirkan di bahunya sehingga semakin mempercantik penampilan wanita asal Minang tersebut.
Puisi yang berjudul Setengah Abad Yang Indah ini sudah ditulis oleh Jusuf Kalla beberapa hari sebelum hari ulang tahun perkawinannya. Puisi tersebut kemudian dibacakan oleh Jusuf Kalla di hadapan seluruh tamu undangan yang hadir. Dengan didampingi oleh Mufidah, Jusuf Kalla membacakan puisi yang sudah ditulisnya itu dengan lantang diatas panggung.
Puisi romantis yang ditulis oleh pria asal Bugis itu berisi tentang perjalanan kisah cintanya dengan Mufidah, yang penuh dengan lika-liku. Mufidah beberapa kali tersenyum sipu mendengar catatan puisi yang dibacakan oleh suaminya. Bahkan, sesekali Jusuf Kalla menyelipkan gurauan yang membuat gelak tawa para tamu undangan, termasuk Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Berikut adalah puisi Jusuf Kalla yang romantis dan mengundang tawa.
Setengah Abad Yang Indah
M. Jusuf Kalla
Di hari minggu yang sama setengah abad yang lalu.
Kita duduk bersanding dengan penuh bahagia.
Di Aula Hotel Negara Makassar, yang pada waktu itu cukup terpandang.
Setelah paginya akad nikah di rumahmu yang dipenuhi para keluarga.
Itu hari terindah dalam hidupku...
Aku pertama kali melihatmu waktu kita di SMA.
Kita bersebelahan kelas, karena kau adik kelasku...
Aku terpesona dengan kesederhanaanmu.
Walaupun kau sempat tak peduli padaku...
Aku menyukaimu pada detik pertama aku melihatmu...
Tujuh tahun lamanya aku berusaha untuk mendekati dan meyakinkanmu.
Tapi engkau seperti jinak jinak merpati. Sama dengan nama jalan di depan rumahmu.
Antara mau dan tidak, sering membingungkan dan tidak jelas.
Aku bersabar, berjuang dengan waktu...
Namanya pacaran tetapi kurang asyik seperti teman-teman saya lain.
Kemana-mana kau dikawal oleh adik-adikmu kayak Paspampres saja. Walaupun aku punya Vespa tetapi engkau tidak pernah mau dibonceng. Selama tujuh tahun kita hanya sekali nonton bioskop, itupun dengan teman-temanmu.
Sehingga untuk bisa memegang tanganmu saja sangat sulit.
Tapi ku tahu, hal yang sulit biasanya berakhir manis...
Akar budaya kita memang berbeda, antara Bugis dan Minang.
Orang tuamu kadang-kadang was-was dan khawatir, karena engkau anak perempuan satu-satunya. Orangtuaku begitu pula, sering salah mengerti adat Minang.
Kenapa paman dan perempuan lebih banyak menentukan.
Perbedaan yang nyaris menjauhkan kita...
Kalau ke rumahmu harus siap untuk sabar. Mendengar petuah bapakmu dengan suara yang pelan
Seperti guru menasehati muridnya.
Aku ingin menemuimu, tapi bapakmu menyembunyikanmu.
Kamu baru dipanggil keluar kalau saya permisi pulang.
Sebenarnya itu termasuk perilaku yang kejam.
Karena itu aku mengubah cara.
Datang ke rumahmu sore hari sebelum magrib
Begitu maghrib, aku berdiri adzan dengan fasih.
Terpaksa kamu keluar shalat berjamaah yang di imami bapakmu.
Ini juga penting agar bapakmu tahu aku juga rajin shalat.
Setamat SMA kau bekerja di BNI sambil kuliah sore di UMI.
Sambil kuliah aku juga bekerja di kantor bapakku.
Agar bisa sering ke bank untuk menyetor atau menabung
Sekali seminggu aku jadi asisten dosen dan mengajar di kelasmu tanpa honor.
Semua itu agar bisa bertemu denganmu, dan melihat senyummu.
Berat betul perjuanganku. Tapi demi menatap mata beningmu, kujalani semua.
Akhirnya kau dan bapak ibumu luluh juga.
Ayahku akhirnya memahami perbedaan adat kita
Setelah ibuku dan sahabatnnya memberi nasehat. Mungkin juga setelah membaca buku Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.
Saat orang tuaku melamarmu untuk jadi istriku, aku melihat cakrawala tersenyum.
Perjuangan cinta bertahun-tahun yang berbuah manis.
Setelah kita menikah aku menjalankan perusahaan ayahku.
Kau, sekretaris dan keuangan karena belum bisa, mengangkat pegawai.
Disamping mengasuh anak juga mengurus rumah dengan baik.
Lima kita kau asuh sendiri tanpa barisan suster seperti cucu kita sekarang.
Kau bagaikan wonder women untukku.
Selama 50 tahun kau chef terbaik yang ku kenal Karenanya jarang sekali kita makan di restoran.
Di kantor pun setiap hari kau kirim rantangan.
Teman-teman selalu menunggu apa saja yang kau hidangkan.
Kau tahu, cintamu terus mengitariku karena hidangan enak yang kau buat.
50 tahun kita jalani 33 tahun di Makassar dan 17 tahun di Jakarta.
Sungguh suatu perjalanan yang panjang.
Kita jalani hidup tanpa tanpa mengubah cara
Kita tidak berubah, kecuali di jalan tidak pernah macet.
Aku suka kesederhanaanmu. Sejak pertama aku melihatmu dan sekarang, kesederhanaanmu adalah cahaya yang terindah.
Secara ekonomi gaji pejabat negara tidak besar.
Lebih besar hasil usahamu yang macam-macam.
Dari menanam bunga sampai tambak udang yang kau urus di meja riasmu sambil menelpon.
Mungkin perpaduan budaya Minang dan Bugis yang kau alami.
Kau perempuan hebat, istriku. Dalam aura sederhanamu tersimpan energi yang dahsyat.
Orang bugis tak fasih berkata-kata indah. Kecintaannya ditunjukkan oleh perilaku, bahasa tubuh, dan senyumnya.
Untuk romantispun aku tak pandai, walau setiap detun napas cintamu ada bersamaku.
Karena itu aku minta maaf kepadamu, karena selama 50 tahun aku tak pernah memberi bunga sambil mengucapkan i love you.
Jakarta, 27 Agustus 2017