REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Dosen Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu, Deddy Bakhtiar berpendapat bahwa penanaman vegetasi mangrove merupakan benteng terbaik untuk menahan laju abrasi Pulau Tikus, pulau kecil berjarak sembilan kilometer dari Kota Bengkulu.
"Vegetasi mangrove adalah benteng terbaik untuk menahan laju abrasi Pulau Tikus yang dikombinasi dengan pemecah gelombang," kata Deddy di Bengkulu, Senin (28/8).
Saat lokakarya bertajuk "Penyelamatan Pulau Tikus dan Pesisir Bengkulu untuk Kepentingan Ekologi, Ekonomi dan Sosial", Deddy mengatakan penyelamatan pulau kecil itu sangat mendesak dilakukan sebab luasannya terus menyusut.
Luas daratan Pulau Tikus awalnya mencapai 2 hektare dan saat ini tersisa 0,6 hektare akibat tingginya laju abrasi.
Bila upaya mengatasi abrasi dilakukan dengan membangun "sea wall" dikhawatirkan akan mengganggu habitat penyu yang menjadikan daratan pulau itu sebagai lokasi bertelur.
Lokakarya yang digelar Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu bekerjasama dengan Komunitas Mangrove Bengkulu (KMB) atas dukungan pemerintah Australia melalui Alumni Grant Scheme yang dikelola oleh Australia Awards in Indonesia itu juga membahas tentang upaya pengenalan vegetasi mangrove di pulau tersebut.
Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Yansen mengatakan penanaman mangrove dalam paralon atau dikenal dengan istilah "Riley Encased Methodology" mampu menumbuhkan Rhizopora stylosa di pesisir Pulau Tikus.
"Bersama rekan-rekan dari Komunitas Mangrove Bengkulu, kami menanam bibit mangrove dalam paralon dan berhasil tumbuh, sekitar 400 batang," kata Ketua Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu ini.
Ia mengatakan selain menanam mangrove, penyelamatan Pulau Tikus juga perlu dilakukan kolaboratif antarpemangku kepentingan, terutama nelayan, penyedia jasa pariwisata, serta organisasi perangkat daerah terkait.
Koordinator Komunitas Mangrove Bengkulu, Riki Rahmansyah mengatakan mangrove jenis Rhizopora stylosa diperkenalkan di Pulau Tikus mengingat jenis ini mampu tumbuh di atas pulau karang di perairan Pulau Enggano.
"Kami melihat masalah utama adalah arus dan gelombang tinggi, bila paralon bertahan mudah-mudahan mangrove yang kami tanam akan membentuk ekosistem baru," katanya.