Selasa 29 Aug 2017 17:31 WIB

Gapki: Peran ISPO Belum Maksimal Mendukung Industri Sawit

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nidia Zuraya
Perkebunan Sawit
Perkebunan Sawit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses mendapat sertifikat Indonesian Sustainable Oil (ISPO) yang masih membuthkan waktu lama dikeluhkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Sedikitnya diperlukan dua tahun untuk bisa mendapatkan sertifikat ini padahal menurut Permentan No. 11 Tahun 2015, pada Maret 2017 seharusnya semua perusahaan sudah sertifikasi ISPO.

"Tapi ini akan tidak tercapai karena banyak hal yang belum diberesin, hal ini jadi PR," ujar Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono saat ditemui di AUditrium Kementerian Pertanian, Selasa (29/8).

Terdapat bea sertifikasi peralihan kelas kebun yang membutuhkan waktu lama dalam pengesahan suratnya, kemudian ada peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) yang masih belim disahkan.

Beberapa hambatan yang perlu diperbaiki adalah terkait Hak Guna Usaha (HGU). HGU menjadi persyaratan dalam pengajuan ISPO tersebut. Jika belum ada, sampai kapanpun perusahaan tidak akan bisa perusahaan mendapat sertifikat. Menurutnya, banyak perusahaan yang saat ini menunggu HGU sementara syarat pengajuan ISPO lainnya sudah lengkap.

"Memang fungsi dari ini penting karena kalau sudah HGU sudah final, HGU yang ada kawasan pasti tidak akan dapat sertifikat," katanya.

Ia melanjutkan, ada sekitar 900 perusahaan menerima surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena lahan yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi. Selain itu limbah pada kelapa sawit juga mash menjadi permasalahan.

Di daerah remote atau daerah yang sulit terjangkau, limbah menumpuk. Padahal, kata dia, tidak ada yang membeli limbah tersebut dan tidak bisa dibuang. Seharusnya, bagi pembeli limbah yang memiliki ijin bisa mengangkut limbah tersebut untuk dimanfaatkan ataupun dibuang agar syarat memperoleh ISPO pun bisa didapat perusahaan.

Di luar dari HGU dan permasalahan limbah, ia melanjutkan, perusahan sudah sepatutnya melaporkan kegiatan rutinnya ke dinas terdekat. Hal tersebut penting karena nantinya akan mempermudah setiap urusan dengan pemerintah.

“Terlepas dinasnya lamban atau kurang kooperatif, sebenarnya kalau Anda lakukan ini mestinya ya mereka tidak bisa membuat-buat (jadi lebih lama; red),” kata dia.

Sebaiknya perusahaan mempunyai tim internal untuk melakukan assessment untuk melihat tingkat kesiapan perusahaan dalam mendapatkan ISPO. Sebab, jika semuanya diserahkan kepada lembaga sertifikasi memerlukan biaya tinggi dan waktu yang cukup lama.

ISPO yang adalah indikator sawit berkelanjutan dianggap pemerintah mampu meningkatkan nilai kelapa sawit Indonesia di mata dunia. Namun kenyataannya, ia menambahkan, banyak perusahaan yang harus melakukan sertifikasi lagi.

“Bahkan setelah ISPO belum tentu semuanya lancar karena masih ada lagi sertifikasi2 di pasar2 yang lebih spesifik. Ada yang belum bisa dicover ISPO maupun RSPO,” kata dia.

Contohnya di ISPO yang tidak mencakup deforestasi. Pada ISPO, asal lahan perkebunan tidak berada di kawasan hutan tidak masalah. Namun, pasar akan meminta kriteria deforestasi yang harus dipenuhi perusahaan jika ingin mengambil pasar tersebut.

Oleh sebab itu ada sertifikat spesifik mengingat banyaknya tuntutan dar masyarakat dunia. Tapi setidaknya dengan ISPO, perusahaan kelapa sawit telah memenuhi tuntutan dari Indonesia.

Seiring dengan pemenuhan tuntutan dari Indonesia terkait ISPO, GAPKI pun meminta pemerintah untuk terus memperjuangkan industri sawit agar berani berdiri tinggi di pasar global. Melalui ISPO seharus bisa digunakan sebagai alat negosiasi perdagangan meksi tidak untuk negosiasi pengurangan pajak ataupun kenaikan harga.

“Pemerintah harus negosiasi dengan negara-negara importir sehingga terlindungi. Bisa nggak pemerintah dengan posisi tawar tinggi melakukan negosiasi?,” kata dia.

Mengingat saat ini indusri sawit tanah air tengah diterpa berbagai hambatan baik tarif maupun non tarif seperti hambatan sawit Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) terkait biodiesel, India yang menaikkan tarif impor dan resolusi sawit Uni Eropa yang semua nya kembali ke masalah perdagangan.

“Saya setuju dengan Trump, seharusnya bagaimana trade agreement antar kedua belah pihak itu jelas supaya industri sawit itu terlindungi,” tegas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement