REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Eksistensi koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional, masih jauh dari maksimal. Meski jumlah koperasi di Indonesia sangat banyak, namun belum mampu memberi kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian dalam negeri.
Menurut Ekonom dari Universitas Padjajaran Bandung, Poppy Rufaidah, saat ini jumlah koperasi di Indonesia mencapai 209 ribu. Namun, kontribusinya terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) masih minim yakni sekitar 4,4 persen.
Hal ini, kata Poppy, menunjukkan kondisi koperasi di Tanah Air yang terpuruk. Padahal, di Denmark, sumbangan koperasi bisa mencapai 68 peresen pada PDB.
"Kondisi ini terjadi karena pasifnya keberadaan koperasi di Indonesia," ujar Poppy dalam Seminar Nasional Penggunaan Merek Kolektif atas Produk Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, yang digelar Unpad di Bandung, Selasa (29/8).
Keberadaan koperasi di Indonesia pasif, kata dia, satunya karena kurangnya partisipasi anggota dalam kegiatan koperasi. Padahal, peran anggota sangat penting dalam mengembangkan koperasi.
Selain itu, kata dia, saat ini koperasi simpan pinjam lebih dominan dalam perkoperasian Indonesia. Seharusnya, koperasi tidak selalu bergerak pada sektor pembiayaan (simpan pinjam).
Poppy pun menyebut, kemampuan para pelaku koperasi sangat minim sehingga tidak mampu mengembangkannya dengan baik. Meski mampu menghasilkan produk, pelaku koperasi belum tentu mampu mengembangkannya.
"Mereka hanya bisa memproduksi, tidak bisa memasarkan dan mengelola manajemen keuangan dengan baik," katanya seraya menyebut koperasi pun tidak memiliki kemampuan membangun merek.
Oleh karena itu, kata dia, perlu upaya dari berbagai pihak untuk merevitalisasi koperasi. Jika dilakukan, hal inipun berdampak positif terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Pertama, pelaku koperasi dan UMKM harus memiliki kesadaran akan pentingnya manajemen pengelolaan yang baik.
Selain untuk mengatur keuangan, kata dia, upaya tersebut penting dilakukan agar produk yang dihasilkan bisa lebih inovatif. Salah satunya dengan membangun merek kolektif. Selain mampu menekan biaya, penerapan merek kolektif pun mampu memperluas jaringan pemasaran. "Kesadaran pendaftaran merek sangat rendah," katanya.
Selain mengurangi nilai tambah dari suatu produk, kata dia, ketiadaan merek inipun mengakibatkan produk yang dihasilkan sulit dikenal oleh pasar. Oleh karena itu, pemerintah harus menyosialisasikan hal ini agar semakin banyak pelaku koperasi dan UMKM yang sadar akan pentingnya merek.
"Harus memiliki kebijakan yang memproteksi. Yang harus ada insentif. Kita tidak bisa minta mereka mendanai merek sendiri, apalagi mahal," katanya.
Praktisi Notaris Koperasi dan UMKM, Ranti Fauza Mayana mengatakan, koperasi di Indonesia harus bisa menyamai sektor lain seperti BUMN dan swasta. Koperasi yang membawahi pelaku UMKM, harus mampu menghasilkan produk yang menguasai pasar bahkan hingga mendunia.
Ranti menilai, saat ini masih sedikit koperasi yang sadar akan pentingnya menggunakan merek. "Karena tidak tahu, kurang sosialisasi. Kalaupun tahu, tapi enggak tahu harus pergi ke mana," katanya.
Di tempat yang sama, Ketua Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS), Aun Gunawan, mengatakan, pihaknya sangat membutuhkan peran serta pemerintah dalam mengembangkan usahanya. Saat ini, pihaknya mengaku kekurangan lahan untuk mengembangkan usahanya tersebut. Padahal, di Bandung selatan banyak lahan negara yang tidak terbengkalai. "Kami berharap pemerintah bisa mengizinkan. Kami sewa, tidak gratis," katanya.