REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan membentuk konsorsium demi menuntaskan divestasi saham PT Freeport sebesar 51 persen. Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengungkapkan, konsorsium tersebut akan terdiri dari holding BUMN, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah provinsi.
''Akan dibentuk konsorsium, di mana di dalamnya itu ada pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun provinsi. Holding tambang itu ada dalam konsorsium,'' kata Harry, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/8).
Menurut Harry, saat ini pemerintah telah memiliki saham PT Freeport sebesar 9,36 persen. Artinya, saham yang akan diselesaikan sebesar 41 persen. Ia mengatakan, nantinya pemerintah pusat akan mendapatkan porsi saham lebih banyak dibanding pemerintah provinsi maupun daerah.
Meski demikian, skema divestasi tersebut masih akan dibahas oleh pemerintah, dan diharapkan selesai dalam waktu dekat. ''Kita mintanya secepat mungkin, apakah dua tahap, tiga tahap, kalau bisa secepat mungkin. Akhir pekan ini mudah-mudahan skemanya sudah jelas,'' ujar Harry.
Mengenai harga saham, Harry menjelaskan pemerintah akan menunjuk independen valuator untuk mengkaji nilai sahamnya. Independen valuator itu nantinya akan diisi oleh tim dari PT Freeport maupun pemerintah.
Menurutnya, holding tambang akan menjadi operator divestasi tersebut. Harry menuturkan, holding BUMN tambang tersebut nantinya akan terdiri dari Inalum, Antam, Bukit Asam, dan Timah. Saat ini, kata Harry, yang sudah menyatakan ketertarikan untuk mengambil alih saham PT Freeport adalah Kementerian BUMN. Bahkan, Kementerian BUMN sudah berkirim surat kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM. ''Di luar BUMN belum ada, sekarang fokusnya BUMN dan BUMD,'' ucap Harry.
Sebelumnya, hasil kesepakatan final renegosiasi Pemerintah dengan PTFI diketahui menghasilkan empat poin penting. Pertama, landasan hukum yang mengatur hubungan pemerintah dengan PTFI adalah IUPK, bukan kontrak karya (KK). Kedua, divestasi PTFI sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional. Ketiga, PTFI berkewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama lima tahun atau maksimal pada Oktober 2022. Dan keempat, stabilitas penerimaan negara, yakni penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding penerimaan melalui KK selama ini.