Kamis 31 Aug 2017 02:28 WIB

Dikotomi Antara Islam dan Kebangsaan Sudah Usang

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Agus Yulianto
Muhaimin Iskandar
Foto: Republika/Subarkah
Muhaimin Iskandar

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Orang-orang yang masih mendikotomikan Islam dengan kebangsaan termasuk ke dalam kaum ''tuna sejarah''. Karena, sejarah telah mencatat keduanya tidak dapat dipisahkan dalam mewujudkan kedaulatan bangsa Indonesia.

Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar saat menjadi narasumber Studium Generale, di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, Rabu (30/8). Di hadapan ratusan mahasiswa, politisi --yang akrab disapa Cak Imin-- ini menyampaikan materi bertajuk ''Membumikan Pancasila dan Islam Rahmatan lil Alamin dalam Sistem dan Lanskap Politik Nasional dan Daerah''.

Dia mengemukakan, analisis mengenai sejumlah persoalan faktual yang tengah dialami bangsa Indonesia. Mulai dari kecenderungan ''mengerasnya'' pemahaman agama yang dangkal,  kemiskinan, ketidakadilan serta beragam masalah kebangsaan lainnya.

Menurutnya, jika merunut jejak sejarah nusantara dan dunia, maka  Islam dan politik mustahil dipisahkan. Sehingga perdebatan klasik soal Islam dan politik, apakah merupakan dua hal yang semestinya dipisahkan atau menyatu sudah terlalu usang.

“Sejak kelahirannya, gerakan Islam merupakan entitas yang menjadi bagian dari kekuasaan politik, atau dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan yang telah ada.  Kompromi, persuasi, koalisi, oposisi,  konsensus bahkan perang,  merupakan bagian integral dalam perkembangan Islam,” ujarnya.

Oleh karena itu, Islam politik janganlah dimaknai sebagai hal yang negatif. Namun Islam politik sama sekali tidak identik dengan fundamentalisme. Islam rahmatan lilalamin sebagai konsep dan ''ideologi'' Islam politik  yang wajib diturunkan ke dalam program kerja konkret bagi siapapun yang meyakininya.

Dua hal yang prinsip dalam ''ideologi'' Islam rahmatan lil alamin adalah kemanusiaan dan keadilan. Kemanusiaan bermakna rasa belas kasih dan solidaritas kepada siapapun yang membutuhkan,  apapun latar belakang agama, sosial dan politiknya.

Sementara keadilan bermakna penegakan hukum seadil-adilnya serta pemenuhan hak mendasar rakyat sesuai konstitusi. “Maka, jangan lagi didikotomikan antara Pancasila dan Islam, kebangsaan dengan Islam,” tandasnya.

Cak Imin juga menyampaikan, ada dua kata, ''adil'' dalam Pancasila dan ada satu kata ''kemanusiaan''. Hal ini sudah sejalan secara prinsipil dengan rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, mereka yang mendikotomikan Islam dengan Kebangsaan adalah ''kaum tuna'' sejarah.

Mereka pura-pura atau memang lupa jika perjuangan kemerdekaan banyak negara di kawasan Asia Afrika, bahkan Indonesia merupakan kolaborasi solid antara cinta kepada Islam dan cinta pada tanah air. Di sisi lain, bangsa ini telah berpikir keras menemukan jalan membumikan Pancasila. Harusnya, Pancasila dibumikan bukan dalam ruang hampa, namun dalam lingkup yang saat ini penuh problema. “Maka, prasyarat dasarnya perlu terus diperbaiki agar upaya membumikan bisa efektif,” katanya.

Prasyarat dasar ini, masih kata Cak Imin, pertama menegakkan hukum dan berikan keadilan. Kedua, penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan hak dasar agar rakyat merasa terus punya harapan, harga diri dan pikiran positif dan ketiga, teladan dari para pemimpin.

“Jika tiga pra syarat dasar ini bisa kita penuhi,  membumikan Pancasila menjadi kerja yang lebih sederhana dan lebih mudah,” tandasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement