REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Sekolah-sekolah di Australia menjadi tempat bagi anak-anak dari pengungsi asal Suriah yang baru tiba untuk berintegrasi ke dalam masyarakat. Australia pernah berjanji untuk menerima 12 ribu pengungsi dari Suriah, dan sebagian besar dari mereka sudah tiba, dengan 4.350 di antaranya adalah anak-anak usia sekolah.
Sekarang mereka tidak saja harus belajar bahasa baru, bahasa Inggris, namun juga harus belajar matematika, sains, dan membaca buku teks dalam bahasa Inggris juga. Dengan trauma perang di Suriah masih segar dalam ingatan, kini dengan belajar dalam lingkungan yang lebih aman di Australia, anak-anak tersebut menjadikan sekolah sebagai tempat mereka menyesuaikan diri di negara ini.
Di Yagoona, sebuah kawasan di Sydney barat, Yorka Manjeh dan suaminya Samir sedang mempersiapkan ketiga anaknya Sara, Dani dan Semon untuk ke sekolah.
Teh manis tersedia di meja, dan juga piring bekas makan pagi, tas sekolah dan kotak makan siang."Anak-anak merasa aman di Australia," kata Yorka Manjeh. "Mereka dengan senang pergi dan pulang sekolah setiap hari."
"Mereka bangun pagi dengan semangat uintuk bersiap ke sekolah karena mereka belajar banyak hal baru di sekolah, lebih banyak dari yang dipelajari di Suriah."
Sama seperti 90 persen pengungsi Suriah yang diterima di Australia dalam 12 bulan terakhir, keluarga ini beragama Kristen.
Anak-anak keluarga Manjeh ini bersekolah di Sekolah Katolik Holy Saviour di Greenacre. Sara sekarang ini kelas 6.
"Saya tidak bersekolah selama setahun di Suriah karena terjadi perang dan setiap hari terjadi penembakan," kata Sara. "Bila kami ke sekolah, kami bisa terkena tembakan."
"Ketika kami tiba di Australia, saya merasa bebas, karena saya bisa ke sekolah, dan bisa bermain dengan teman-teman. Saya tidak di rumah saja sepanjang waktu."
Bukan hal yang mudah
Sebagian besar dari 12 ribu pengungsi asal Suriah dan Irak yang diterima di Australia sekarang bermukim di wilayah kota praja Fairfield di Sydney Barat Daya, dimana sekolah di sana harus mengakomodasi banyak anak-anak yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris sebagai bahasa kedua.
Bagi Holy Saviour School untuk membantu anak-anak pengungsi, sekolah harus mengadakan pengumpulan dana.
Pemerintah negara bagian New South Wales sudah mengumumkan akan memberikan dana $ 2,7 juta (sekitar Rp 27 miliar) kepada sekolah swasta dan Katolik yang memberikan program khusus bagi anak-anak pengungsi.
Ini sebagai tambahan dari paket senilai $ 93 juta selama empat tahun bagi para siswa pengungsi.
Namun tambahan dana itu hanya sepertiga dari dana yang dihabiskan Holy Saviour bagi anak-anak pengungsi.
"Pada awalnya kita tidak mendapat bantuan keuangan dan dukungan lain," kata kepala sekolah Holy Saviour Diane Klumpp, yang secara pribadi turun tangan menghubungi bisnis lokal di sekitar sekolahnya untuk mengumpulkan dana.
"Kami mencari bantuan dari komunitas lokal untuk membantu secara pribadi."
"Kami berhasil mengumpulkan dana $ 40 ribu (sekitar Rp 400 juta) lewat kemitraan komunitas, memperketat anggaran kami sendiri, dan bisa menyisihkan dana $ 90 ribu untuk program yang kami jalankan di tahun 2017."
"Kami bisa memberikan anak-anak itu tiga jam tambahan pelajaran bahasa Inggris setiap hari."
"Tetapi kami memerlukan tambahan dana antara $ 180 ribu sampai $ 200 ribu, untuk melanjutkan program sekarang yang sudah ada untuk anak-anak tersebut."
Dan bagaimana dia akan mengumpulkan dana tersebut?
"Mengemis, meminjam dan mencuri," kata Klumpp. "Kami yakin bahwa kami harus membantu mereka."
Dalam pelajaran bahasa Inggris khusus untuk anak-anak asal Suriah tersebut, salah satu programnya bernama New Arrivals adalah memberikan pengalaman langsung akan hidup di Australia bagi anak-anak tersebut.
Ketika ABC mengunjungi Sekolah Holy Saviour, anak-anak sedang duduk mengelilingi meja yang dipenuhi dengan makanan seperti biskuit Anzac, dan selai asin Vegemite, makanan khas Australia.
Sara baru pertama kalinya mencoba Vegemite. "Eh rasanya tidak enak," katanya.
Guru New Arrivals Rosina Schinella mengatakan program itu mencoba mengajakan konsep budaya dengan buku-buku dan konsep budaya Australia.
"Mereka terbuka untuk belajar hal baru mereka ingin belajar, mereka ingin menjadi bagian dari budaya."
Anak-anak Suriah yang sebelumnya datang sebelum rombongan terbaru ini sudah membuktikan mereka bisa menguasai bahasa Inggris, berintegrasi ke dalam negara baru, dan menjadi pemimpin di kelas, hanya dalam waktu beberapa tahun.
Salah satu kapten sekolah di Holy Saviour Youssef Albaba adalah salah seorang diantaranya. Dia tiba di Australia tiga setengah tahun, dan bangga dengan tugasnya sebagai kapten.
"Di Suriah, di sekolah kami kadang dipukul, di sini kami tidak pernah dipukul," kata Youssef.
"Rumah kami di Suriah, desa kami, beberapa rumah rusak, runtuh karena bom dan tembakan peluru."
"Di sini sekolah lebih besar. Di Australia, 24 jam listrik menyala. Di Suriah, kami hanya bisa mendapat listrik selama dua jam."
"Sekarang kami memiliki kepala sekolah, kami memiliki guru. Mereka semua terbaik. Dan disini kami bisa belajar, semuanya lebih baik dari Suriah."
Diterjemahkan pukul 14:10 AEST 31/8/2017 oleh Sastra Wijaya dan simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini