REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Bayu Dardias menilai peluang perempuan menjadi gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta belum final meski Mahkamah Konstusi telah mengabulkan gugatan Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Keistimewaan DIY.
"Meski sudah membuka peluang, namun masih ada tahapan lain yang harus dilalui apabila menghendaki perempuan bisa jadi gubenur di DIY," kata Bayu saat dihubungi di Yogyakarta, Sabtu (2/9).
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan uji materi pasal 18 ayat (1) huruf m UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan, melalui putusan yang dibacakan pada Kamis (13/8) siang. Putusan itu menyatakan frasa yang memuat syarat pencantuman daftar riwayat hidup calon Gubernur DIY yang meliputi riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak dalam pasal 18 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penghapusan frasa "istri" dalam menyerahkan daftar riwayat hidup oleh calon Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang diatur dalam Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY tersebut sekaligus membuka peluang perempuan mencalonkan diri sebagai Gubernur DIY.
Namun demikian, Bayu mengatakan, peluang perempuan mencalonkan diri sebagai gubernur DIY belum serta merta dapat direalisasikan saat ini. Sebab, masih ada pasal lainnya yang mengganjal yakni Pasal 1 butir 4 UUK. "Kecuali jika pasal itu juga diuji materi," kata dia.
Pasal 1 butir 4 UUK menyebutkan Kasultanan Ngayogyakarta dipimpin oleh "Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khaifatullah, yang selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono."Dan, gelar Khalifatullah itu identik dengan laki-laki," kata dia.
Selain itu, Pasal 18 UUK juga masih mengatur bahwa calon Gubernur DIY adalah WNI yang bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono dan Calon Wagub DIY bertakhta sebagai Adipati Paku Alam.
Bayu menilai, putusan MK tersebut tidak akan memicu gejolak yang berarti di DIY, khususnya di internal Kerajaan Yogyakarta karena masih sebatas pada pengaturan hukum positif. Di sisi lain masih ada paugeran (hukum adat) keraton di mana sejak Sultan Hamengku Buwono I hingga Hamengku Buwono X, Raja Keraton Yogyakarta diisi seorang laki-laki.
"Meski mengenai paugeran ini ada dua versi di internal keraton. Ada yang menganggap paugeran adalah semacam 'UUD' dari sejak Raja Keraton Yogyakarta terdahulu yang harus diikuti sebagai pedoman, di sisi lain ada yang menganggap bahwa paugeran itu merupakan aturan yang bisa diubah oleh raja yang berkuasa saat ini," kata dia.