REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wahyudi Akmaliyah Mohammad mengatakan kalangan populis yang marak saat Aksi Bela Islam belakangan cenderung melupakan Buni Yani.
"Pada saat awal dulu, Buni Yani dielukan bak pahlawan, tapi sekarang saat Pilkada DKI Jakarta selesai tidak banyak yang memperhatikannya," kata Wahyudi dalam diskusi "Skenario Populisme Islam di Indonesia Pasca-Aksi Bela Islam" di Jakarta, Selasa (5/9) malam.
Menurut Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI itu, saat ini banyak yang tidak membelanya meski dia sempat menjadi salah seorang yang tergolong pertama menggiring opini lewat media sosial mengenai penistaan agama oleh terpidana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Seiring kasus Buni Yani yang berjalan usai Pilkada DKI sudah tidak banyak nampak massa yang membelanya.
Populisme sendiri merupakan filsafat politik yang berpihak pada hak-hak dan kepentingan orang banyak, alih-alih berpihak pada elit dan pemerintah. Istilah populisme terkadang dipolitisasi untuk kepentingan kalangan politik tertentu untuk memuluskan tujuannya, baik lewat pengarahan pada isu-isu tertentu atau dengan ekspresi lainnya.
Dia mengatakan Buni Yani pada sebelum dan menjelang Pilkada DKI dibela karena ada indikasi disokong oleh "predator" politik tertentu dan ada agenda politik yang tidak tampak. "Pilkada DKI jadi trigger umat Islam bergerak. Ada indikasi trigger politik di dalamnya," kata dia.