REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara menyatakan telah mengembangkan bom hidrogen yang memiliki "kekuatan merusak luar biasa", Ahad (3/9). Sementara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berbicara lewat telepon mengenai "ekskalasi" krisis nuklir.
Kantor berita pemerintah Korea Utara KCNA mewartakan, pengembangan bom hidrogen tersebut di tengah meningkatnya ketegangan regional menyusul dua uji rudal balistik antar-benua yang bisa terbang sampai sejauh sekitar 10 ribu kilometer, yang menempatkan bagian-bagian daratan Amerika Serikat dalam jangkauannya, pada Juli.
Di bawah pemimpin generasi ketiga Kim Jong-un, Korea Utara berusaha membuat perangkat nuklir kecil dan ringan yang sesuai untuk rudal balistik berjangkauan jauh yang bisa bertahan setelah kembali memasuki atmosfer Bumi. Korea Utara, yang menjalankan program nuklir dan rudalnya untuk menentang resolusi dan sanksi-sanksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), "baru-bari ini berhasil" membuat bom hidrogen yang lebih maju menurut warta KCNA.
"Bom-H, yang kekuatan ledakannya bisa disetel dari puluhan kiloton hingga ratusan kiloton, merupakan senjata termonuklir multi-fungsi dengan kekuatan merusak luar biasa yang bisa diledakkan bahkan pada ketinggian tinggi untuk serangan EMP (Electromagnetic Pulse) super kuat menurut untuk tujuan-tujuan strategis," kata KCNA.
"Seluruh komponen bom-H dibuat di dalam negeri dan seluruh prosesnya dilakukan berdasar Juche, yang dengan demikian memampukan negara menghasilkan senjata nuklir kuat sebanyak yang diinginkan," demikian pernyataan Kim yang dikutip KCNA.
Juche adalah ideologi kemandirian Korea Utara yang merupakan gabungan dari Marxisme dan nasionalisme ekstrem yang diajarkan oleh pendiri negara Kim Il Sung, kakek pemimpin negeri Korea Utara yang sekarang. Korea Utara menyatakan, program-program senjata mereka dibutuhkan untuk melawan agresi Amerika Serikat. Demikian menurut warta kantor berita Reuters.