REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan Vestergarrd Frandsen membuat produk sederhana. Ada alat pembersih air yang digunakan untuk menghasilkan air minum. Produk ini banyak dimanfaatkan masyarakat yang sering dilanda kekeringan, seperti di Afrika. Perusahaan ini tidak mengincar pangsa pasar negara maju, tapi justru negara-negara yang sedang kesulitan.
Mereka membantu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memenuhi sasaran pembangunan milenium. Bisnis dimanfaatkannya untuk berempati, membantu masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, menghadirkan rasa kemanusiaan, yang kian hari semakin digerus modernisasi dan kapitalisme.
Komunikasi yang dibangun bukan berpola atasan dan bawahan, tapi mitra dan kekeluargaan. Ini berlaku dalam komunikasi internal dan eksternal perusahaan, kepada karyawan korporasi dan juga klien yang setia menanti pelayanan. Bagi Vastergaard, masyarakat tak mampu adalah kerabat, bukan sebatas konsumen. Kemampuan berempati akan mampu membangun sinergi dan jejaring untuk menghimpun kekuatan yang solid mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Ini adalah salah satu ciri gerakan antibos atau disebut juga Unboss. Cara berpikir gerakan itu adalah mendefinisikan perusahaan sebagai sebuah jejaring sosial atau komunitas dengan suatu visi. Jejaring ini menjadi organisasi yang melayani tujuan yang lebih penting daripada laba dan produk. Hubungan yang dibangun bukan untuk memasarkan produk, tapi lebih kepada menawarkan pelayanan. Masyarakat saat ini lebih ingin dilayani untuk memudahkan mereka meraih target dan harapan.
Konsep ini bukan semata-mata untuk korporasi, tapi juga birokrasi yang sangat mempengaruhi dinamika masyarakat luas. Ketika Unboss menjadi acuan pemerintah dan DPR, maka kebijakan yang dihasilkan akan lebih menyentuh masyarakat. Dampaknya banyak. Kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan semakin terpenuhi. Mereka dapat membangun kehidupan lebih baik. Negara dan DPR semakin dihormati dan disegani rakyatnya.
Masih banyak poin mengenai gerakan ini yang sangat konstruktif untuk mengubah citra dan dinamika perusahaan menjadi lebih konstruktif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Konsep gerakan ini disusun oleh dua warga Denmark, Jacob Botter dan Lars Kolind dalam buku berjudul Unboss. Bukan untuk meraih keuntungan hak cipta dari setiap penjualan, buku ini justru mereka buat untuk kemaslahatan banyak orang. keuntungannya didonasikan untuk gerakan pramuka yang mereka nilai sebagai wadah regenerasi kepemimpinan.
Pembuatan buku Unboss merupaan proyek yang memakan waktu bertahun-tahun. Dua penulis itu kerap melawan bos-bos yang tidak membuat karyawannya nyaman bekerja. Para bos kerap menyuruh bawahannya untuk bekerja terus-menerus, memberikan target yang tidak masuk akal, dan jauh dari pertimbangan rasional.
Buku yang semula berbahasa Inggris ini sekarang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Penerbit Renebook sengaja menerjemahkan dan menyebarluaskan buku tersebut agar masyarakat negeri ini mendapatkan penyegaran pola manajerial dan kepemimpinan, baik dalam sektor swasta maupun negara.
Buku setebal 396 halaman ini layak dibaca siapapun yang menginginkan perubahan dan kemajuan. Desainnya tidak monoton, dilengkapi dengan peta buku, dan kutipan-kutipan menarik di akhir setiap bab, sehingga tidak membuat mata cepat lelah membaca.