REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Myanmar merupakan salah satu negara bekas jajahan Inggris yang kini sedang mengalami konflik etnis dan agama. Pengamat Hubungan Internasional, Teuku Rezasyah mengatakan, kunci penyelesaian konflik Rohingya ada pada dokumen otentik yang disimpan oleh Inggris.
"PBB harus tegas! Khususnya pada negara Inggris. Ini perlu dipertanyakan mengapa PBB hingga saat ini sulit sekali mendesak Inggris untuk membuka dokumen otentik negara Myanmar, apakah memang dulu yang ada di sana mayoritas Budhist," kata Reza saat dihubungi Republika.co.id, Senin (4/9).
Menurut dia, jika PBB tidak segera membuka dokumen-dokumen otentik tersebut, peristiwa Rohingya ini akan habis dimakan bom waktu. Dan perlu dipertanyakan juga mengapa Inggris tidak mau terbuka soal Rohingya. Pada akhirnya menyebabkan pemerintah memperlakukan warga Rakhine semena-mena.
"Kekerasan ini juga terjadi dikarenakan Myanmar tidak memiliki desain pembangunan yang menyeluruh. Mereka tidak memiliki konsepsi bangsa, misalnya ketika Rohingya tidak terlahir dengan kecerdasan yang sama dengan bangsa Yahudi, sehingga keteguhan mereka tidak kuat," kata dia.
Umat Islam, kata Reza, juga belum bersatu dalam membantu umat-umat Muslim di negara konflik, salah satunya Rakhine, Myanmar. Selama ini, tidak ada tokoh Islam yang berani bersuara secara tegas dan berani, terutama dalam forum-forum PBB.
Solidaritas antarumat Islam masih belum terbangun dengan baik. Reza mencontohkan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang memiliki banyak uang, tapi tidak memberikan tindakan finansialnya untuk Myanmar, atau memberikan sikap nyata bukan hanya sekedar statement.
"Umat Islam harus bersatu dan bersuara semua baru bisa menyelamatkan warga Rakhine, karena konflik ini sudah berlarut-larut ya sejak lama. Kemudian Inggris juga harus perlihatkan dokumen untuk kejelasan warga Rohingya," ujar dosen Universitas Padjajaran (Unpad) itu.