Senin 04 Sep 2017 19:32 WIB

Hilangkan Bukti, Militer Disebut Bakar Jasad Rohingya 

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ilham Tirta
Ilustrasi pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
Ilustrasi pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Direktur Arakan Project Chris Lewa menyebut militer Myanmar berupaya menghilangkan bukti pembantaian mereka dengan membakar jasad-jasad Muslim Rohingya di Rakhine. Arakan Project merupakan organisasi yang mendokumentasikan kekerasan, sekaligus mengadvokasi hak kelompok Rohingya di Rakhine. 

Lewa mengungkapkan, organisasinya telah mendokumentasikan sedikitnya 130 pembunuhan Rohingya di satu permukiman di wilayah Rathedaung. Dia mengatakan, berdasarkan laporan yang diterimanya, masih terdapat tiga desa lainnya di mana puluhan Muslim Rohingya dibunuh. 

Menurutnya, dibandingkan dengan tahun lalu, kekerasan terhadap Rohingya saat ini lebih banyak melibatkan kelompok ekstremis Buddhis. "Pasukan keamanan mengepung desa (Rohingya) kemudian menembak orang di sekitar tanpa pandang bulu. Tapi kami juga menemukan bahwa dibandingkan kekerasan pada Oktober dan November tahun lalu, saat ini ada lebih banyak keterlibatan penduduk Buddhis setempat bersama dengan militer," ungkap Lewa, seperti dikutip laman the Independent, Senin (4/9). 

Kekejaman dan kebrutalan militer Myanmar, kata Lewa, tidak berhenti hanya pada pembantaian. "Apa yang kita temukan adalah bahwa sekarang, setelah pembunuhan, militer dan warga sipil lainnya mulai mengumpulkan dan membakar mayat mereka agar tidak meninggalkan bukti apapun," katanya. 

Kendati demikian, laporan tentang hal ini memang belum terkonfirmasi sepenuhnya. Arakan Project masih melakukan wawancara dengan warga Rohingya yang telah mengungsi ke Bangladesh. "Tapi kelompok kami juga masih bergerak aktif di Myanmar," ujar Lewa. 

Berdasarkan data badan pengungsi PBB, sejak kekerasan di Rakhine meletus pada 25 Agustus lalu, sedikitnya 73 ribu orang telah menyeberang dan mengungsi ke Myanmar. Gelombang pengungsi ini membuat kamp-kamp penampungan sementara di Cox''s Bazar, Bangladesh, membeludak dan tak memadai. Sebagian pengungsi bahkan tak dapat mendirikan tempat bernaung sementara karena tidak tersedianya lahan. 

Terkait kekerasan di Rakhine, Aung San Suu Kyi telah didesak untuk segera mengambil tindakan untuk menghentikan pembantaian Rohingya oleh militer Myanmar. Desakan ini bahkan diutarakan oleh peraih nobel perdamaian termuda asal Pakistan Malala Yousafzai. 

"Selama beberapa tahun terakhir saya berulang kali mengutuk perlakukan tragis dan memalukan (militer Myanmar) ini. Sekarang saya masih menunggu rekan peraih nobel Aung San Suu Kyi untuk melakukan hal yang sama (mengutuk kekerasan terhadap Rohingya)," kata Yousafzai melalui akun Twitter-nya. 

"Dunia sedang menunggu dan Muslim Rohingya juga sedang menunggu (tindakan Aung San Suu Kyi)," kata Yousafzai menambahkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement