REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Perusahaan penyiaran asal Inggris, British Broadcast Corporation (BBC), memutuskan untuk menyudahi kerja sama dengan televisi nasional Myanmar (MNTV). Keputusan ini terkait langkah MNTV yang melakukan sensor terhadap sejumlah berita dan program BBC berbahasa Myanmar, terutama menyangkut peliputan mengenai etnis Rohingya.
Sejak April 2014, BBC memang melakukan kerja sama dengan MNTV untuk menyiarkan program berita harian dan tayangan berbahasa Myanmar. Program ini pun ditonton sekitar 3,7 juta orang di Myanmar. Namun, sejak April 2017, MNTV secara sepihak menghentikan tayangan dan program berita dari BBC.
''BBC tidak bisa menerima upaya sensor dan intervensi terhadap program yang telah dijalankan oleh BBC dan MNTV. Pasalnya, hal itu seolah mengkhianati kepercayaan antara BBC dengan khalayak luas,'' tulis pernyataan resmi BBC seperti dikutip Channel News Asia, Senin (4/9) waktu setempat.
Pengumuman ini tentu menjadi pukulan berat terhadap Pemerintah Myanmar, terutama dalam hal jaminan terhadap kebebasan pers. Bahkan, selama ini, pers di Myanmar dianggap berperan dalam upaya demokratisasi di negara tersebut, termasuk saat menyoroti penahanan yang menimpa tokoh pro demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, beberapa tahun lalu.
Sementara MNTV menilai, penghentian penayangan berita harian BBC itu lantaran terdapat penggunaan kata yang dilarang oleh pemerintah dalam program tersebut. ''Berita yang dikirimkan BBC menggunakan kata-kata yang dilarang oleh Pemerintah,'' tulis pernyataan resmi MNTV.
Pejabat di MNTV menyebut, kata-kata tersebut terkait dengan sebutan ''Rohingya'' untuk menyebut penduduk Muslim di Rakhine State. ''Karena kata-kata itu, kami tidak bisa menyiarkan program berita tersebut,'' ujar pejabat tersebut.
Rohingya merupakan sebutan untuk etnis, mayoritas beragama Islam, yang tinggal di bagian barat Rakhine State. Dalam beberapa tahun terakhir, etnis Rohingya memang kerap mendapatkan tekanan dari mayoritas warga dan pemerintah Myanmar. Puncaknya saat militer Myanmar mengusir dan melakukan operasi militer di wilayah pemukiman etnis Rohingya pada 25 Agustus silam.
Sejumlah media internasional menggunakan kata Rohingya untuk mengidentifikasi para penduduk Muslim di Rakhine State. Pasalnya, mereka menyebut diri mereka dengan sebutan Rohingya. Sementara pemerintah, begitu pun media lokal Myanmar, enggan menyebut mereka Rohingya.
Pemerintah dan media lokal Myanmar menyebut mereka dengan ungkapan ''Bengalis''. Pasalnya, penduduk Muslim tersebut dianggap sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh, kendati mereka telah tinggal di Rakhine State selama puluhan tahun.