REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, KPK telah meminta pihak Imigrasi untuk memperpanjang masa pencegahan ke luar negeri terhadap tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tersangka yang dimaksud adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
"Kami dapat informasi masa pencegahan ke luar negeri akan habis pada 31 Agustus 2017, jadi akan diperpanjang lagi pencegahannya," ujar Febri di Gedung KPK Jakarta, Selasa (5/9).
Sebelumnya Syafruddin pernah dicegah ke luar negeri sejak 21 Maret 2017 sampai enam bulan sehingga KPK memperpanjang pencegahan tersebut. Pencegahan dilakukan agar saat keterangannya dibutuhkan, Syafruddin tidak berada di luar negeri.
Febri menambahkan untuk proses audit BPK di kasus ini juga sudah hampir selesai, "Nanti akan kami informasikan lebih lanjut perihal hasil kerugian negara," ucapnya.
Dalam kasus ini penyidik sudah banyak memeriksa saksi seperti mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Kemudian mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto hingga mantan Kepala BPPN Ary Suta.
Sejauh ini, KPK baru menetapkan satu tersangka, Syafruddin atas tindakannya menerbitkan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim. Syafruddin juga sempat mengajukan praperadilan di PN Jakarta Selatan, namun, Hakim Tunggal Muchtar Effendi menolak seluruh permohonan praperadilannya.
Syafrudin mengajukan permohonan praperadilan setelah KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)ke Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang merupakan salah satu obligor BLBI pada tahun 2004.
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi ini sejak pertengahan Maret 2017 lalu. Dia diduga menyalahgunakan wewenangnya dalam kasus ini lantaran menerbitkan 'surat sakti' untuk Sjamsul Nursalim.
Padahal, Sjamsul Nursalim, yang juga bos PT Gajah Tunggal Tbk itu masih memiliki kewajiban atas utang BLBI sebesar Rp 3,7 triliun dari total keseluruhan Rp4,8 triliun. Sjamsul Nursalim baru membayar kewajiban itu sebesar Rp 1,1 triliun dari aset petani tambak Dipasena. Atas tindakan yang dilakukan Syafruddin tersebut negara ditaksir dirugikan hingga Rp 3,7 triliun.