REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pasukan militer Myanmar diduga telah meletakkan ranjau darat di wilayah perbatasan dengan Bangladesh. Hal ini diyakini telah berlangsung selama tiga hari terakhir dan kemungkinan besar dilakukan untuk mencegah warga Rohingya yang mungkin datang kembali setelah melarikan diri.
Pemerintah Bangladesh disebut akan secara resmi mengajukan protes atas pelatakan ranjau darat di wilayah perbatasan kepada Myanmar pada Rabu (6/9). Sebelumnya, sumber dari Dhaka mengatakan telah melihat dan memantau bahwa sekelompok orang dari Myanmar yang tengah menggali dan memasukkan apa yang diduga sebagai ranjau ke dalam tanah.
"Pasukan perjaga perbatasan kami melihat sekelompok orang menempatkan ranjau darat di wilayah perbatasan bagian mereka yang di dekatnya juga terdapat pagar kawat berduri," ujar sumber Pemerintah Bangladesh.
Meski sekelompok orang yang menempatkan ranjau di perbatasan Myanmar tidak mengenakan seragam militer, tetapi Bangladesh meyakini itu bukanlah kelompok militan yang selama ini disebut berasal dari Rohingya. Ledakan dari benda berbahaya itu juga sudah terdengar dalam dua hari terakhir di wilayah yang di antaranya dijaga ketat oleh pasukan tentara Myanmar.
Seorang warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh juga sempat melihat area yang terdengar ledakan di wilayah perbatasan pada Senin (4/9). Di sana, ia menceritakan bahwa ada pria yang menggali tanah dan meletakkan sesuatu seperti cakram logam dengan diameter 10 sentimeter dan sisanya tertutup karena sudah terkubur.
Selain itu, ada saksi mata lainnya yang mengatakan kepada Reuters bahwa dua tentara Myanmar berada di area jalan setapak warga sipil Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Di sana, mereka nampak mengerjakan sesuatu pada Senin (4/9) lalu, hingga beberapa saat kemudian terdengar ledakan tepatnya pukul 2.25 dini hari waktu setempat.
Hingga saat ini, Myanmar menjadi negara yang belum menandatangani Perjanjian Internasional Larangan Ranjau yang dibuat pada 1997. Meski demikian, penggunaan senjata berbahaya ini dalam kekerasan terhadap warga Rohingya sebelumnya tidak pernah terdengar ada.
Kekerasan yang terjadi pada warga Rohingya kembali terjadi pada 25 Agustus lalu, dengan terjadinya serangan di wilayah utara Rakhine. Sebanyak 20 pos keamanan polisi di area perbatasan Myanmar dan Bangladesh saat itu dilaporkan mendapat serangan.
Menurut pasukan militer Myanmar, ada ratusan orang yang diyakini oleh mereka berasal dari kelompok militan Rohingya melakukan serangan tersebut. Beberapa membawa senjata, serta menggunakan bahan peledak buatan sendiri dalam serangan itu.
Pertempuran antara pasukan keamanan Myanmar dan penyerang kemudian terus berlanjut. Tak hanya itu, tentara negara juga melakukan operasi di desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di sejumlah desa dan wilayah Rakhine.
Situasi di Rakhine semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di sana. Kelompok aktivis Human Rights Watch mengatakan banyak bangunan dan area lingkungan warga, khususnya di Maungdaw, wilayah utara negara bagian itu yang terlihat terbakar dan ditunjukkan melalui media sosial.
Diperkirakan ada 123.600 warga Rohingya saat ini telah melarikan diri ke Bangladesh. Namun, tak sedikit di antaranya yang mengalami luka parah karena tembakan yang dilepas oleh pasukan militer Myanmar dalam perjalanan mereka.
Selama ini warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu diantaranya yang tewas sejak terjadi konflik di Rakhine, tempat kebanyakan etnis tersebut menetap.