REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Anwar Sanusi mengakui ada temuan hampir Rp 1 triliun dalam laporan keuangan kementerian tahun 2015-2016. "Ada temuan selisih penghitungan untuk dana pendampingan dana desa, temuannya Rp 550 miliar dan Rp 400 miliar. Saya ketahui itu di Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (PPMD)," kata Anwar dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (6/9).
Anwar bersaksi untuk terdakwa Irjen Kemendes PDTT Sugito dan Kabag TU dan Keuangan Inspektorat Jenderal Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo didakwa memberikan suap Rp 240 juta kepada auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri agar memberikan opini WTP terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes PDTT TA 2016. "Temuan itu terkait pendampinginan, kalau tidak salah disampaikan masih ada dilakukan klarifikasi dan kami melihat juga harus ada perbaikan aspek laporan keuangan," ucap Anwar.
"Temuan itu diketahui pada awal 2017, selanjutnya selama 60 hari tim BPK pun berusaha memperbaiki temuan tersebut dalam setiap raker," ungkap Sekjen.
Direktur PPMD Taufik Majid juga mengaku temuan tersebut tidak memengaruhi opini BPK terhadap Kemendes PDTT yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). "Ada temuan dari Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) sebesar Rp 450 juta dan Rp 550 miliar, disampaikan Pak Sugito dan beliauy mengatakan harus klarifikasi ke BPK, ini angkanya besar, jadi perintah beliau segera diklarifikasi," kata Taufik.
"Apakah ada omongan 'wah bahaya ini nilainya sangat besar?'?" tanya jaksa penuntut umum KPK Ali Fikri.
Taufik pun menjawan, "Perintah beliau berdasarkan aturan formal harus diklarifikasi," jawab Taufik.
Saat jaksa menanyakan, apakah dia tahu ada sejumlah uang untuk BPK, Taufik mengaku tidak tahu.
Dalam perkara ini Sugito dan Jarot didakwa dengan pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Pasal itu mengatur tentang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.