REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, mengatakan pemutaran video Muktamar HTI sebelum pemerintah memberikan keterangan pada sidang uji materi Perppu Ormas Nomor 2 Tahun 2017 pada pekan lalu justru melemahkan dasar penerbitan aturan tersebut. Penggunaan video sebagai dasar penguatan penerbitan Perppu Ormas juga dianggap tidak logis.
Margarito bertindak sebagai ahli pemohon dalam persidangan lanjutan uji materi Perppu Ormas atas pengajuan eks Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, pada Rabu (6/9). Menurutnya, jika mengacu kepada tayangan video, tidak ada kondisi yang bersifat genting dan memaksa sebelum penerbitan Perppu.
"Peristiwa (yang terjadi) video tidak bisa menjadi dasar untuk merumuskan peristiwa genting," tegas Margarito di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Rabu (6/9).
Dari keterangan saksi pemohon, Faridji Wadjdi, diketahui bahwa video berisi kegiatan Muktamar Khilafah HTI direkam pada Ahad, 2 Juni 2013. Margarito lantas menjelaskan bahwa keorganisasian HTI pada saat itu belum berstatus badan hukum sah. Pada 2013 HTI hanya memegang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). HTI resmi berbadan hukum dengan terdaftar secara sah di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) pada 2014.
Margarito berpendapat, diterimanya HTI di Kemenkum-HAM melemahkan pendapat pemerintah tentang kondisi genting yang melatarbelakangi penerbitan Perppu Ormas. Dengan kata lain, HTI diterima oleh pemerintah. Maka, lanjutnya, jika pemerintah menganggap HTI perlu dibubarkan dan Perppu Ormas mendesak diterbitkan, maka sedianya dilakukan pada 2013 lalu.
"Semestinya segera, kok (menanti) empat tahun ? betul-betul tidak logis. Keadaan 2013 (dianggap) gugur dan tidak cukup alasan hukum dalam mengkonstruksi ihwal keadaan genting dan menjadikan presiden menggunakan hak eksklusifnya (Perppu)," papar Margarito.
Ditemui terpisah, Kuasa Hukum Ismail Yusanto, Yusril Ihza Mahendra, menekankan bahwa ada selang waktu empat tahun dari waktu dokumentasi video hingga diterbitkannya Perppu Ormas pada 2017. Selanjutnya, kata Yusril, setelah saksi dimintai keterangan apakah dia pernah dipanggil oleh pemerintah untuk memberikan keterangan mengenai isi video, yang bersangkutan menjawab tidak pernah.
"Saksi ditanya 'apakah pernah dipanggil oleh penegak hukum bahwa pimpinan HTI kalau dia mengajak pada paham khilafah, baik oleh pemerintahan Pak SBY atau Pak Jokowi ?', dia bilang 'tidak pernah'," papar Yusril.
Merujuk kepada dua hal di atas, Yusril memegaskan ada hal yang diduga janggal dalam penerbitan Perppu Ormas. Proses penerbitan Perppu dinilai tidak sinkron dengan pertimbangan kondisi kegentingan yang memaksa.
Sementara itu, pihak terkait dalam perkara uji materi Perppu Ormas, I Wayan Sudirta, mengatakan bahwa diterbitkannya aturan itu tetap memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Dengan dikeluarkannya Perppu menunjukkan ketegasan sikap pemerintah saat ini.
"Kalaupun itu disebut terlambat, tetap bukan suatu keterlambatan pemerintahan sekarang. Itu keterlambatan pemerintahan lain dan tanggung jawab pemerintah lain. Janganlah dibebankan kepada pemerintahan sekarang. Untung pemerintahan sekarang sudah mengambil tindakan," tegasnya.