REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) menyelidiki pemilik akun Facebook berinisial DDL karena dianggap menghina Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri.
"Penyelidikan perkara ini menindaklanjuti laporan masyarakat yang merasa terhina karena akun Facebook DDL menyamakan Megawati Soekarnoputri dengan Konselor Negara Myamar Aung San Suu Kyi," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Polisi Frans Barung Mangera saat dikonfirmasi, Rabu (6/9) malam.
Dia mengatakan laporan masyarakat tersebut diterima Polda Jatim Rabu siang. Salah satunya menyertakan bukti akun Facebook DDL tertanggal 3 September, yang mengunggah tragedi Rohingya namun turut mencatut nama Megawati Soekarnoputri.
Berikut tulisan Dandhy Dwi Laksono yang membuatnya dipolisikan seperti dikutip Republika.co.id, di laman Facebook-nya
SUU KYI dan MEGAWATI. Sulit untuk tidak ikut geram dengan mantan peraih Nobel Perdamaian (1991), Aung San Suu Kyi atas apa yang terjadi pada warga Rohingya. Mantan tahanan politik 15 tahun di masa junta militer itu dianggap tak cukup bersikap untuk mencegah pembantaian warga Rohingya yang dilakukan tentara Myanmar dan kelompok garis keras Budha.
Padahal Suu Kyi dianggap punya kekuasaan dan pengaruh setelah partainya (NLD) memenangi pemilu pada November 2015. Selain pemimpin partai pemenang pemilu, ia adalah Penasihat Negara (State Counselor) dan Menteri Luar Negeri. Penasihat Negara adalah jabatan setara Perdana Menteri yang berlaku lima tahun.
Tentu dalam negara yang memiliki barisan para jenderal, kajian politik tak boleh naif. Tak jarang anasir-anasir militer memiliki agenda sendiri yang tak selalu sejalan bahkan menjebak pemerintahan sipil yang berkuasa.
Presiden John F Kennedy merasa kewalahan dengan agenda para jenderalnya di Pentagon dan CIA dalam krisis misil Kuba dan invasi Teluk Babi (1961) yang seakan segera menyuruhnya memulai perang nuklir dengan Uni Soviet. Atau bagaimana Soeharto dan kawan-kawan jenderalnya membangun kontak secara diam-diam dengan pihak Sekutu di Kuala Lumpur dan Singapura, saat Presiden Sukarno justru sedang berkampanye "ganyang Malaysia" tahun 1963.
Kekecewaan pada Suu Kyi dalam kasus Rohingya harus selalu membuka kemungkinan hal-hal semacam ini. Terutama karena secara historis, Myanmar dikuasai rezim militer selama 53 tahun dan punya catatan pernah menewaskan 3.000 orang dalam peristiwa demonstrasi berdarah 8888. ("Angka cantik" ini diambil dari tanggal 8 Agustus 1988. Gerakan perlawanan juga punya "angka cantik" lain 7777 di mana rangkaian unjukrasa dimulai pada 7 Juli 1977).
Tapi tampaknya Suu Kyi tidak mengirim sinyal seperti Kennedy yang merasa sedang dikerjai para jenderal garis kerasnya. Sebaliknya, Suu Kyi terkesan menjadi bagian dari itu. Ia selalu menyebut kasus Rohingya adalah kekerasan antar-etnis yang juga terjadi pada etnis-etnis lain seperti Karen.
Kekecewaan pada Suu Kyi makin jelas ketika Mei 2017 lalu pemerintah Myanmar menolak dan membantah laporan PBB tentang apa yang terjadi terhadap warga Rohingya di Rakhine. Bahkan pada Juni 2017 pemerintah Myanmar menutup akses investigator PBB.
Suu Kyi bahkan pernah membuat komentar yang dianggap bernada rasis usai diwawancarai reporter BBC, Mishal Husain tahun 2013 yang mencecarnya dengan pertanyaan seputar kasus Rohingya: "Tidak ada yang bilang saya akan diwawancarai oleh seorang muslim," kata Suu Kyi dalam sebuah buku biografi yang ditulis Peter Popham.
Apalagi ada kutipan pidato Suu Kyi yang menunjukkan tekadnya untuk mengakumulasi kekuasaan setelah ia memenangi pemilu: “Aku yang akan membuat semua keputusan, karena akulah pemimpin partai yang memenangi pemilu”. (Suu Kyi, dikutip The Independent, 11 Oktober 2015).
Semua orang tahu, konteks pidato itu adalah penegasan dari Suu Kyi, meski kelompok militer menghadangnya dengan konstitusi yang membuatnya tak bisa jadi presiden (karena dua anaknya memegang paspor Inggris), ia akan lebih berkuasa dari presiden.
Lalu apa hubungannya dengan Megawati?