REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keluhan soal besarnya pajak yang harus dibayarkan seorang penulis tidak hanya keluar dari Tere Liye saja. Achi T.M, penulis buku "Insyaallah, Sah!" juga mengutarakan hal yang sama. Ia dan teman penulis lainnya sudah membicarakan hal tersebut sejak lama, tapi masih di ranah diskusi saja.
"Memang sejak dulu sama temen-temen penulis lainya sempat mengutarakan keberatan soal pajak penulis yang sampai 15 persen ini. Memang baru di ranah diskusi saja, belum sampai ke pihak perpajakan," ungkap Achi ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (7/9).
Dibukanya keluhan terkait pajak bagi penulis itu oleh Tere Liye ke publik, menurut Achi, dapat dijadikan sebuah momentum bagi para penulis. Orang awam pun menjadi lebih paham, pajak untuk penulis itu mencapai angka tersebut.
"Kalau dibilang keberatan, ya keberatan. Apalagi untuk saya yang hidup dari menulis. Terasa sekali kalau kita membayar pajak 15 persen. Royaltinya saja kan dibayar setiap enam bulan sekali," kata dia.
Apalagi belum tentu buku yang dibuat oleh seorang penulis itu laris manis di pasar. Ia pun membandingkan dengan karya Tere Liye yang kerap menjadi best seller di toko-toko buku. "Sekelas Tere Liye bayarnya ratusan juta. Berat banget kalau dipikir-pikir itu ya," sambung dia.
Mungkin, menurut Achi, persentase pajak tersebut tidak dianggap masalah oleh orang yang menjadikan menulis itu hanya sekadar hobi. Beda dengan ia dan beberapa teman-temannya yang memang menggantungkan hidup dari buku.
"Mereka mungkin tidak peduli sama royalti atau gimana, mereka biasa saja sama pajak yang segitu karena tidak menggantungkan hidup di sana. Tapi untuk saya dan beberapa temen penulis lain kan banyak," terang dia.
Achi menjelaskan, dengan keberatannya terhadap besaran pajak yang harus dibayarkan itu bukan berarti penulis tak taat pajak. Para penulis juga taat pajak, potongan pajak juga sudah ada dari penerbit buku.
"Kita sudah dipotong pajak oleh penerbit. Sebetulnya ikhlas-ikhlas saja, tapi kan yang dipermasalahkan itu soal besarannya saja yang tidak sama seperti profesi lainnya," imbuh dia.
Ia melanjutkan, keberatan itu juga bukan berarti tidak ikhlas dalam menulis atau hanya mengharapkan uang saja dari menulis. Tapi, setiap profesi apa pun memang butuh dihargai dan pasti mengharapkan apa yang namanya honor.
"Guru pun mengharapkan gaji, karyawan mengharapkan gaji, dokter pun seperti itu. Mosok, penulis tidak boleh berharap mendapatkan royalti yang layak sih? Bahkan, ada temen saya yang royaltinya kecil, kena pajak 15 persen kan lumayan," kata dia.