REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kaum Muhajirin memutuskan meninggalkan kediamannya. Tak mudah meninggalkan tempat seseorang tumbuh.
Tempat bermain sejak anak-anak. Makkah, bagi kaum Muhajirin akan selalu disebut rumah. Tempat seyogianya mereka kembali setelah beraktivitas.
Namun, keadaan tak memungkinkan untuk bertahan. Bahkan, saudara sedarah sendirilah yang menghadirkan kesempitan-kesempitan. Saat Rasulullah SAW memerintahkan hijrah ke Yatsrib, kaum Muhajirin langsung menyambut. Meski mereka tahu, tak ada seorang pun saudara yang mereka miliki di tempat baru.
Madinah ternyata menyambut mereka dengan sangat antusias. Tak peduli mereka belum saling mengenal. Ikatan persaudaraan itu bahkan lebih kuat dibanding saudara sedarah mereka di Makkah. Tak ada ambisi apa pun para pemuda Yatsrib begitu sukacita menyambut kaum Muhajirin.
Inilah ikatan akidah. Saat pernyataan tentang keesaan Allah SWT dibarengi pengakuan terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai utusan, sekat-sekat persaudaraan turut membuyar. Siapa pun dia, asalkan akidah Islam tertancap di hatinya, ia adalah saudara yang mesti dilindungi.
Orang-orang Anshar menganggap kaum Muhajirin sebagai belahan jiwanya. "Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah bersaudara." (QS al-Hujurat : 10).
Persaudaraan itulah yang membuat orang Anshar berebut saudaranya yang baru datang dari Makkah untuk menginap di rumahnya. Mereka rela berbagai harta, jiwa, serta kepentingan keluarganya untuk orang-orang yang mereka bahkan belum kenal.