Jumat 08 Sep 2017 20:01 WIB

Hakim Tipikor Ditangkap, ICW: Proses Pembinaan Hakim Buruk

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Qommarria Rostanti
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang hasil OTT Hakim Tipikor Bengkulu saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/9).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang hasil OTT Hakim Tipikor Bengkulu saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Dewi Suryana menambah daftar panjang hakim tipikor yang terjerat perkara korupsi. Setelah beberapa waktu lalu KPK melakukan OTT terhadap seorang panitera di Pengadilan Jakarta Selatan, kini KPK melakukan OTT terhadap Dewi, hakim tipikor di Bengkulu.

Anggota Indonesian Corruption Watch (ICW) Arad Caesar mengatakan penangkapan demi penangkapan mengindikasikan bahwa lembaga penegak hukum justru rentan melakukan pelanggaran hukum dengan praktik korupsi. Model pengawasan terhadap para hakim-hakim ini, menurut dia, tidak dibangun dengan ketat, bahkan cenderung tanpa pengawasan.

"Proses pembinaan hakim juga buruk. Mahkamah Agung (MA) gagal menanamkan nilai integritas pada hakim melalui proses pembinaan," ujar Arad dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/9).

MA dinilainya tidak memiliki komitmen kuat untuk mendorong perbaikan pada lembaga pengadilan dan justru terkesan membiarkan tanpa melakukan perubahan yang signifikan. Dia pun mengkritik Ikatan Hakim Indonesia yang justru mendukung revisi Undang-Undang KPK yang terang-terang merupakan hasil dari upaya pelemahan KPK. Dia menyayangkan sikap tersebut karena dapat ditafsirkan sebagai semangat yang tidak mendukung kerja pemberantasan korupsi.   

Dewi Suryana merupakan hakim tipikor ketujuh yang ditangkap karena menerima suap atau korupsi. Sebelumnya, ada enam orang nama hakim lain yakni Janner Purba Hakim Tipikor Bengkulu, Kartini Marpaung Hakim Ad Hoc Tipikor Semarang, Ramlan comel Hakim Ad Hoc Tipikor Bandung, Heru Krisbandono Hakim Ad Hoc Tipikor Pontianak, Asmadinata Hakim Ad Hoc Tipiko Palu, dan Pragsono Hakim Tipikor Semarang.

Arad mengatakan, hakim tipikor yang seharusnya mengadili perkara korupsi, justru menjadi bagian pelaku yang melakukan korupsi. Karenanya, perlu ada evaluasi mendalam terkait kinerja pengadilan tipikor.

Selain itu, kata dia, perlu ada evaluasi proses rekrutmen dan pembinaan hakim. Apakah proses rekrutmen telah dapat menjaring hakim tipikor yang memiliki integritas, serta apakah pembinaan hakim berhasil menanamkan nilai integritas kepada hakim, khususnya hakim tipikor.

Menurut Arad, secara lebih utuh evaluasi dilakukan untuk memetakan wilayah yang rawan penyelewengan hakim atau panitera. Hal ini harus dilakukan dengan bekerja sama dengan KPK. "Komisi Yudisial juga melibatkan pemerintah. Merumuskan strategi pembenahan pengadilan adalah sebuah keharusan jika tidak ingin ada hakim yang ditangkap karena korupsi lagi," ujar Arad.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement