REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademikus dari Universitas Bung Karno, Yana Priyatna, menyatakan, kaum Nahdliyin dan kaum Nasionalis Marhaenis merupakan dua kekuatan sosial, kultural, dan politik bagi bangsa Indonesia. Keduanya, bahkan telah memberikan sumbangan terbesar bagi pertumbuhan Bangsa Indonesia.
Demikian dikatakan pengajar Ajaran Bung Karno (ABK) itu dalam tesisnya berjudul "Aswaja dan Marhaenisme: Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Nusantara" pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (Stainu) Jakarta, kemarin. Ia menjelaskan, pertumbuhan dan dinamika sosial, kultural, ekonomi dan politik rakyat Indonesia menjadi sumber objektif kaum nahdliyyin (sebutan bagi warga Nahdlatul Ulama) dalam mengembangkan paham Aswaja dalam praktik kehidupan masyarakat Nusantara.
Aswaja Nahdliyah, kata Yana, bersumber dari ajaran Islam yang sakral, terdiri dari ajaran tauhid, fiqih, dan tasawuf kemudian berdialektika dengan faktor-faktor objektif masyarakat Nusantara yang berkarakter hidup rukun, harmonis, musyawarah-mufakat, gotong royong dan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan atau Bhineka Tunggal Ika.
"Aswaja Nahdliyah bertitik temu dengan marhaenisme yang juga digali dari sumber objektif masyarakat itu pula, marhaenisme mengambil inspirasi dari pertumbuhan dan dinamika masyarakat Nusantara, kemudian membangun ideologi bagi kaum Marhaen Indonesia," katanya.
Menurut dia, Soekarno menggali unsur-unsur masyarakat Nusantara yang berkarakter dan berjiwa gotong royong, rukun, harmonis, guyub, gotong royong, kekeluargaan, pluralistik, dan berjiwa ketuhanan. "Itu menjadi pokok dalam mengembangkan ajaran Marhaenisme," katanya.
Ajaran Marhaenisme, kata dia, juga terinspirasi dari sumber ajaran Ketuhanan dan Keagamaan (Islam) sebagai kekuatan spiritualnya untuk mengimbangi antara faktor materialistik dan spiritual secara berimbang. Sehingga Marhaenisme mengandung ajaran nasionalisme yang berjiwa ketuhanan, keadilan sosial, demokrasi, dan kemanusiaan.
"Aswaja Nahdliyah dan Marhaenisme kemudian bergumul dan taut bertautan dalam membangun konstruksi nasionalisme," katanya.
Hal itu, kata dia, untuk mencari titik persetujuan dalam menentukan dasar-dasar kebangsaan Indonesia. "Nasionalisme bagi kaum Nahdliyyin merupakan kudrat ilahiyah, sebagai nasionalisme instingtif," katanya.
"Nasionalisme Aswaja dan Marhaenisme bertitik temu dalam membangun politik kebangsaan untuk menyelenggarakan 'nation building' dan 'character building'," katanya lagi.
Karena itu, keduanya merupakan kekuatan bangsa serta konsolidasi keduanya dapat menjadi jawaban untuk menghadapi tantangan bangsa dan negara saat ini. "Konsolidassi keduanya disarankan untuk terus ditingkatkan dalam menghadapi upaya-upaya kelompok sempalan untuk merombak dasar-dasar kebangsaan dan negara kebangsaan," katanya.