REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Iklim demokratis di Indonesia telah membuka ruang bagi dunia literasi. Dengan kebebasan berpikir dan berpendapat, maka kegiatan menulis dan membaca dapat tumbuh dengan baik.
"Sekarang ini orang ingin tahu banyak lah tentang negeri kita. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan momentum ini," ujar Ketua Panitia Indonesia International Book Fair (IIBF) 2017 Husni Syawie kepada Republika.co.id, Jumat (8/9).
Menurutnya, Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi terbesar nomor empat di dunia. Selain itu demokrasi di Indonesia juga besar, hampir tidak ada sensor. Serta keberagaman yang tinggi dan ekonomi yang terus bertumbuh.
Husni berargumen, pelarangan terhadap pemikiran seharusnya tidak ada. Pasalnya, dengan adanya pelarangan maka masyarakat akan sulit memahami pemikiran tersebut.
"Selama itu ditulis dan diberi penjelasan. Kita perlu membacanya. Dan saya tidak yakin ada orang yang kemudian berubah hanya dengan membaca satu buku," ujar Sekertaris Jenderal Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) tersebut.
Dalam kasus tertentu, orang yang pikirannya berubah setelah membaca satu buku, mungkin terjadi. Namun, menurut Husni, keburukan dari kebebasan berpikir jauh lebih kecil daripada manfaat yang bisa dipetik.
"Maka kita harus bisa membebaskan semua buku untuk dibaca semua orang. Mudharat itu sangat mudah diatasi," ujar Husni.
Husni mencontohkan terkait pelarangan pemikiran. Jika kita ingin mencegah komunisme, bagaimana kita mau melakukan hal tersebut jika tidak mengerti apa itu komunisme. Dengan adanya pelarangan, justru masyarakat akan rentan terpengaruh dengan paham-paham lain. Dengan demikian, pemikiran harus dilawan dengan pemikiran, tulisan dilawan dengan tulisan.
Husni berpendapat yang paling benar menangkal itu semua adalah dengan membiarkan masyarakat membaca. Kemudian lakukan diskusi terbuka dan masyarakat menjadi lebih siap untuk menangkal pengaruhnya.