REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan ranjau darat anti-personel di perbatasan Rakhine dan Bangladesh disebut Amnesti Internasional sebagai bentuk pelanggaran HAM serius oleh Myanmar. Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan bahwa temuan-temuan pelanggaran penggunaan ranjau ini menjadi bukti tambahan betapa kuncinya peran pemerintah Indonesia dalam urusan kemanusiaan di Rakhine dan perbatasan Bangladesh-Myanmar.
“Indonesia berperan kunci dalam meyakinkan Myanmar agar membuka akses bagi bantuan kemanusiaan yang datang dari masyarakat internasional serta akses bagi Misi Pencarian Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dipimpin Marzuki Darusman,” kata Usman, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (10/9).
Militer Myanmar merupakan salah satu dari sedikit angkatan bersenjata di dunia, di antaranya Korea Utara dan Suriah, yang masih menggunakan ranjau anti-personil. "Pemerintah Indonesia perlu terus mengajak negara-negara anggota ASEAN untuk tidak boleh menutup mata atas temuan ini. Ini pelanggaran HAM yang serius,” lanjut Usman.
Amnesti Internasional menyebut Pemerintah Australia membantu melatih militer Myanmar, sementara Rusia dan Israel adalah beberapa dari negara yang menyuplai senjata ke Myanmar. Walaupun Uni Eropa masih melakukan embargo senjata terhadap Myanmar, masih ada beberapa negara anggotanya yang masih memberikan bantuan ke militer Myanmar dalam bentuk lain seperti pelatihan.
Amerika Serikat juga sedang mengkaji kemungkinan untuk memperluas kerjasama militer dengan militer Myanmar melalui pelatihan dan loka karya.
“Beberapa pemerintah di dunia yang masih melanjutkan melatih atau menjual senjata ke Myanmar. Mereka menyokong sebuah angkatan bersenjata yang melakukan kekerasan terhadap kelompok Rohingya yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Hal ini harus dihentikan dan negara-negara lain yang berencana melakukan hal yang sama harus mengubah rencana tersebut,” tutur Tirana Hassan yang memimpin Tim Respons Krisis Amnesty International.
Terkait penggunaan ranjau darat, Aung San Suu Kyi membantah pemberitaan media yang menuduh militernya sudah menanam ranjau. Katanya, tidak ada yang bisa memastikan bahwa ranjau tersebut bukan ditanam oleh teroris.
Beberapa hari kemudian, Sekretaris Kementerian Luar Negari Bangladesh, Shahidul Haque, mengonfirmasi kepada kantor berita Reuters bahwa Dhaka telah mengirimkan protes resmi ke pemerintah Myanmar karena telah menanam ranjau di daerah perbatasan. “Otoritas Myanmar harus berhenti mengelak. Semua bukti menunjukkan bahwa militerlah yang menanamkan ranjau tersebut. Ini tidak hanya melanggar hukum tapi juga membantai warga sipil,” kata Tirana.
“Apa yang ada di depan mata saat ini bisa digambarkan sebagai pemusnahan etnis yang di mana Rohingya menjadi target karena etnisitas dan agamanya. Dalam istilah hukum, ini adalah kejahatan kemanusiaan dalam bentuk pembuhunan dan deportasi atau pemindahan populasi secara paksa,” ungkap Tirana.
“Pemerintah Myanmar harus menghentikan kekerasan ini dan pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya. Myanmar juga harus memberikan akses penuh untuk organisasi kemanusiaan termasuk tim penjinak ranjau untuk masuk ke Rakhine,” tambah Tirana.