REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Pertemuan Puncak Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang bertema tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) akan diselenggarakan mulai Ahad (10/9) di Ibu Kota Astana, Kazakhstan. Seluruh negara peserta anggota saat ini tengah melakukan persiapan dalam mengadopsi dokumen kerja yang nantinya dibahas dan dipertimbangkan dalam ajang tersebut.
Dalam sebuah pidato sebelum pembukaan KTT OKI tentang IPTEK, Sekretaris Jenderal OKI Yousif Al-Othaimeen mengatakan bahwa pertemuan ini adalah sebuah acara bersejarah. Ini menjadi yang pertama bagi seluruh negara anggota dan didedikasikan untuk mempromosikan dan mengembangkan sains dan teknologi. Ini adalah sesuatu yang nantinya menjadi alat pemberdayaan serta faktor-faktor pendorong pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
"KTT OKI tentang IPTEK yang pertama kalinya digelar ini merupakan sesuatu yang unik, di mana ini sekaligus menekankan bahwa Islam adalah agama yang memiliki intelektualitas dan tentunya pengetahuan ilmiah dengan tujuan membebaskan orang-orang dari segala sesuatu yang buruk," ujar Othaimeen, dilansir Arab News, Ahad (10/9).
Yousif juga menuturkan tentang bagaimana pengembangan dokumen OKI dilakukan dengan terlebih dahulu melalui diskusi intensif dengan 157 ilmuwan dan pakar teknis dari 20 negara anggota. Menurut Othaimeen ini memuat segala tentang sains dan teknologi baru, lengkap dengan catatan mengenai konsekuensi sosial dan ekonomi dari hal itu.
Dokumen tersebut juga mencakup program ilmiah yang dapat diterapkan bersama oleh banyak negara. Ia menekankan bahwa semua program itu akan menjadi faktor utama dalam membangun ekonomi di negara-negara anggota, di mana ekonomi akan mengalami kemajuan dengan bergantung terhadap industrialisasi.
"Dokumen ini tentunya berisi program yang akan menjadi faktor pemberdayaan utama untuk membangun ekonomi berkelanjutan di seluruh negara anggota dan keberhasilan sepenuhnya," jelas Othaimeen.
Nantinya keberhasilan OKI secara keseluruhan dapat dicapai karena kerjasama dan kolaborasi antara negara anggota. Ia juga menegaskan bahwa diperlukan penggantian program nasional yang telah diterapkan masing-masing negara tersebut dengan berbagai kegiatan kolaboratif serta kontemporer yang disepakati bersama.