Senin 11 Sep 2017 15:34 WIB

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Diusulkan Hanya 55 Pasal

Rep: Kabul Astuti/ Red: Nur Aini
Kekerasan Seksual (ilustrasi)
Foto: STRAITS TIMES
Kekerasan Seksual (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah dan Komisi VIII DPR RI melakukan pembahasan tingkat I Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, Senin (11/9). Terdapat 152 pasal dalam rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual versi DPR.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menyatakan pemerintah sepakat dengan DPR RI terkait usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, melindungi hak korban, dan menindak pelaku.

Yohana mengusulkan dari 152 pasal RUU versi DPR cukup diatur dalam 55 pasal saja. "Materi yang bersifat teknis akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Presiden tentang Kebijakan Nasional Pencegahan Kekerasan Seksual dalam bentuk program kegiatan yang dibentuk kementerian lembaga," kata Yohana di Gedung DPR RI, Senin (11/9).

Yohana mengatakan beberapa pasal diusulkan dihapus karena sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.  Hal itu antara lain, hak korban sudah diatur dalam UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Menurut Yohana, perlindungan korban juga sudah diatur dalam UU No 31 tahun 2014 atas Perubahan UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Soal penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan juga tidak perlu diatur dalam RUU ini karena sudah ada dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga memuat jenis-jenis kekerasan seksual. Ada bentuk-bentuk perbuatan yang tidak dinyatakan sebagai kekerasan seksual, tapi pada kondisi lain termasuk kekerasan seksual. Misalnya, pemaksaan perkawinan. Menurut Yohana, pemaksaan perkawinan termasuk dalam kekerasan seksual kalau yang memaksa korban mendapatkan keuntungan dari perkawinan itu.

Yohana menambahkan, materi proses beracara tidak perlu diatur dalam RUU ini juga, karena sudah diatur dalam SOP yang dibuat aparat penegak hukum. Mengingat kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja, Yohana juga menyatakan agar RUU ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat bidang tertentu.

"Upaya pencegahannya tidak perlu dibatasi di bidang tertentu seperti bidang pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang, pemerintahan, tata kelola kelembagaan, ekonomi, sosial, dam budaya," ujar Yohana.

Berdasarkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional yang dilakukan Kementerian PPPA dan BPS, dari 9000 sampel rumah tangga diketahui pada tahun 2016 terdapat 1017 perempuan dan anak yang mengalami kekerasan seksual.

Laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diperoleh dari KPAI periode Januari-April 2017 berjumlah 41 kasus. Adapun, kompilasi data kekerasan seksual yang dihimpun Kementerian PPPA dari Januari-Maret 2016 berjumlah 74 kasus, dengan catatan 112 pelaku dan 102 korban kekerasan seksual.

Di luar angka itu, Yohana menyatakan masih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan atau diselesaikan di luar hukum. Pelaku kekerasan seksual terkadang beramai-ramai, dan korban pada umumnya perempuan dan anak. Sebagian kasus bahkan menyebabkan kerusakan reproduksi, penyiksaan, dan hilangnya nyawa korban.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement