Selasa 12 Sep 2017 01:55 WIB

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Mulai Dibahas

Rep: Kabul Astuti/ Red: Dwi Murdaningsih
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian PPPA mulai membahas Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) bersama Komisi VIII DPR RI pada Senin, (11/9). Pembahasan RUU PKS dinilai perlu dilakukan karena masih banyaknya kasus kekerasan seksual, baik yang dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan.

Dalam rapat pembahasan tersebut, Menteri PPPA Yohana Yembise menyampaikan pandangan dan pendapat presiden atas RUU PKS. Yohana menjelaskan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan terhadap siapa saja. Karena itu, upaya pencegahannya tidak perlu dibatasi pada bidang tertentu.
 
"Pemerintah setuju dengan DPR RI yang mengusulkan RUU PKS dengan pandangan pemerintah bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan dan anak, namun dapat terjadi pada orang dewasa laki-laki, seperti kekerasan seksual menyimpang," kata Yohana Yembise, di Gedung DPR RI, dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/9).
 
Yohana mengatakan korban kekerasan seksual memerlukan mekanisme pelayanan, baik rehabilitasi maupun pendampingan hukum yang cepat, tanggap, serta ramah masyarakat. Pemerintah tidak ingin membentuk lembaga baru di daerah, namun ingin memanfaatkan lembaga yang sudah ada, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPPA) dan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
 
Terdapat kurang lebih 152 pasal dalam RUU PKS yang diusulkan oleh DPR. Yohana mengusulkan dari 152 pasal RUU versi DPR itu cukup diatur dalam 55 pasal saja. Materi yang bersifat teknis akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Presiden tentang Kebijakan Nasional Pencegahan Kekerasan Seksual.
 
Ketua Komisi VIII, M. Ali Taher mengatakan RUU PKS diharapkan dapat menjawab persoalan yuridis dan menjadi payung hukum untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual. "RUU PKS perlu dibahas untuk menjawab persoalan yuridis karena peraturan perundang-undangan yang sudah ada dirasakan belum sepenuhnya mampu merespon fakta kasus kekerasan seksual," kata Ali Taher.
 
Ia menjelaskan saat ini belum ada mekanisme pemulihan dalam makna luas bagi korban kekerasan seksual. UU PKS ini juga akan memastikan pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Di tengah makin meningkatnya bentuk, kuantitas, dan prevalensi kekerasan seksual, RUU PKS diharapkan dapat menjadi payung hukum yang mampu memberikan kejelasan dan kepastian hukum.
 
Dalam Rapat RUU PKS hari ini, Komisi VIII DPR dan Kementerian PPPA menyepakati pembentukan Panitia Kerja (Panja) RUU PKS yang diketuai Wakil Ketua Komisi VIII Abdul Malik Haramain. Selanjutnya, akan dilakukan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement