Selasa 12 Sep 2017 13:50 WIB

Uang tak Layak Edar di Bali Capai 1,4 Triliun

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Andi Nur Aminah
Petugas mengecek kondisi uang rusak yang ditukarkan oleh warga di Bank Indonesia (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Petugas mengecek kondisi uang rusak yang ditukarkan oleh warga di Bank Indonesia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  DENPASAR -- Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Bali, Causa Iman Karana mengatakan peran masyarakat menyukseskan Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) sangat besar. Ini karena proses pencetakan uang tunai membutuhkan biaya tidak sedikit.

"KPwBI Bali contohnya masih memiliki uang setoran dari bank yang tidak layak edar mencapai Rp 1,4 triliun," kata Causa di Denpasar, Selasa (12/9).

Jumlah uang tunai tersebut dinyatakan tidak layak edar oleh pihak bank. KPwBI Bali kemudian mengolah dan memilah uang-uang tersebut dengan mesin khusus untuk menemukan uang yang masih layak edar. "Ini memerlukan waktu dan tenaga khusus dan ini salah satu risiko transaksi tunai," katanya.

Pembayaran nontunai di Indonesia masih sangat rendah, sekitar 99,4 persen masih bertransaksi tunai. Persentase ini, kata Causa setelah Thailand yang 97,2 persen, Malaysia 92,3 persen, serta Singapura yang transaksi tunainya kini hanya 60 persen, yang berarti 40 persennya sudah memakai uang elektronik (unik) atau e-Money.

Pengenalan masyarakat terhadap unik, menurut pria yang menjabat sejak Juli 2016 itu lebih rendah dibandingkan pengenalan terhadap anjungan tunai mandiri (ATM). Padahal, transaksi unik jauh lebih tinggi potensinya, apalagi Bali merupakan destinasi pariwisata dunia.

"Pemberlakuan transaksi unik secara menyeluruh di tol-tol se-Indonesia adalah salah satu bentuk dukungan kita untuk menyukseskan GNNT," kata Causa.

Bank Indonesia ke depannya terus mendorong pemakaian kartu unik ke transaksi lain, seperti penyaluran bantuan sosial (bansos) supaya lebih akuntabel, bantuan pangan nontunai, dan layanan keuangan digital. Ini juga salah satu arahan Presiden RI, Joko Widodo sejak 26 April 2016.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement