REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengaku tidak tahu latar belakang Jaksa Agung HM Prasetyo menyampaikan sindiran terhadap kinerja komisi antirasuah tersebut pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, Senin (11/9). Menurutnya, selama ini KPK sudah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang KPK, termasuk ketika melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Dia menegaskan, undang-undang sudah jelas mengatur bahwa KPK memiliki kewenangan penyidikan, penyelidikan dan penuntutan. Dia menyatakan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh para penyidik KPK sudah sesuai dengan UU. “Operasi tangkap tangan itu juga diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," tegas Febri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/9).
Ia menambahkan, jika ada pihak yang keberatan saat ditangkap dalam OTT maka mereka bisa menempuh jalur praperadilan atau membuktikan tidak bersalah pada saat sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. "Ada mekanisme hukum, ada mekanisme peradilan yang sebenarnya sudah diatur dan akan lebih baik jika itu yang digunakan," ujar dia.
Saat memaparkan pemberantasan korupsi di Komisi III DPR RI, Jaksa Agung mengatakan KPK di Indonesia sudah menjadi lembaga yang superbody tanpa pengawasan. Namun, dengan kelebihan lembaga antirasuah di Indonesia seperti saat ini, kinerja KPK masih jauh dari pencapaian pemberantasan korupsi di Malaysia dan Singapura.
Dengan adanya kewenangan lebih yang dimiliki lembaga antirasuah Indonesia, indeks antikorupsi Indonesia masih jauh dari Malaysia dan Singapura. "Kenyataannya, memang lembaga penegak hukum yang tanpa pengawasan cenderung akan bertindak sewenang-wenang," ujar Prasetyo.
Bahkan, dia mengritik proses OTT KPK terhadap dua jaksa di Pamekasan terkait dugaan penyelewengan dana desa. Prasetyo menilai, tidak sepenuhnya yang dilakukan KPK di Pamekasan adalah OTT. "Yang di Pamekasan, bisa dibilang OTT bisa dibilang tidak," kata dia.