REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bersama dengan Dewan Keamanan PBB memintah Pemerintah Myanmar hentikan operasi militer yang ditujukan kepada warga Rohingya di negara itu. Sejak konflik kembali terjadi pada 25 Agustus lalu, krisis kemanusiaan besar telah terjadi dan mendorong internasional berbuat lebih banyak mengatasinya.
Sebanyak 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB juga mengadakan pertemuan tertutup untuk membahas lebih lanjut kekerasan terhadap Rohingya, Rabu (13/9). Dalam pertemuan kedua setelah konflik di Myanmar kembali mencuat, kesepakatan bahwa mereka akan secara terbuka mengecam situasi kemanusiaan tersebut.
"Apa yang dialami oleh warga Rohingya di Myanmar sama sekali tidak dapat kami terima dan kami mengakui bahwa kemungkinan besar yang terjadi adalah mereka menjadi korban pembersihan etnis," ujar Guterres sebelum pertemuan dengan Dewan Keamanan PBB, dilansir Aljazeera, Kamis (14/9).
Kekerasan yang terjadi pada warga Rohingya, tepatnya mereka yang berada di Rakhine pada 25 Agustus lalu bermula dari adanya sebuah serangan 30 pos keamanan polisi. Pasukan militer Myanmar saat itu mengatakan ada ratusan orang yang diyakini sebagai kelompok militan asal etnis tersebut membawa senjata dan menggunakan bahan peledak untuk menyerang.
Pertempuran antara pasukan keamananMyanmar dan penyerang kemudian terus berlanjut. Tak hanya itu, tentara negara juga melakukan operasi keamanan di desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di sejumlah desa dan wilayah Rakhine.
Situasi di Rakhine semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di sana. Kelompok aktivis Human Rights Watch mengatakan banyak bangunan dan area lingkungan warga, khususnya di Maungdaw, wilayah utara negara bagian itu yang terlihat terbakar dan ditunjukkan melalui media sosial.
Diperkirakan lebih dari 400 orang yang tewas dalam kekerasan terbaru di Rakhine dan kebanyakan adalah warga Rohingya. Selain itu hingga saat ini tercatat ada 370 ribu dari mereka yang mayoritas Muslim tersebut melarikan diri ke Bangladesh. Namun, tak sedikit diantaranya yang mengalami luka parah karena tembakan yang dilepas oleh pasukan militer Myanmar dalam perjalanan mereka.
Selama ini warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu diantaranya yang tewas sejak terjadi konflik di Rakhine, tempat kebanyakan etnis tersebut menetap.
Kekerasan yang terjadi terhadap warga Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Operasi militer yang dilakukan oleh tentara Myanmar saat itu telah membuat lebih dari 120 ribu warga etnis tersebut harus berada di kamp pengungsi di Rakhine.
Hingga kemudian kasus ini kembali mencuat pada Oktober 2016, di mana menyebabkan sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine.
"Saya meminta agar Pemerintah Myanmar saat ini menangguhkan semua tindakan militer, mengakhiri kekerasa, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan mengakui hak warga Rohingya untuk dapat kembali ke negara itu" jelas Guterres.
Pemerintah Myanmar sebelumnya mengakui bahwa 176 desa di Rakhine yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya saat ini benar-benar tidak dihuni. Mereka seluruhnya diperkirakan telah melarikan diri.