REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seniman Prancis Magali Saby menyoroti emansipasi rekan difabel dalam bidang tari dan teater. Meski cukup banyak kemajuan yang telah dilakukan, menurutnya masyarakat umum belum bisa menerima bahwa orang-orang difabel mampu menjadi seniman.
"Selama bertahun-tahun menggeluti tari dan teater, tidak jarang saya diremehkan, banyak yang tidak percaya saya adalah penari," ujar penari, model, dan aktris tersebut saat menjadi pembicara seminar di Auditorium Institut Prancis di Indonesia (IFI) Jakarta, Kamis (14/9) petang.
Sejak kecil, Magali mengidap lumpuh otak, yang dikenal dengan istilah cerebral palsy atau little's disease. Akibat lahir prematur dalam usia 6,5 bulan, ia mengalami gangguan fungsi motorik dan keseimbangan tubuh yang membuatnya menggunakan alat bantu kursi roda.
Meski begitu, perempuan 31 tahun kelahiran Paris, Prancis, itu tidak mau terbelenggu dengan keadaannya. Berkat saran seorang dokter, Magali mendalami bidang seni tari dan teater sejak berusia delapan tahun hingga sukses menyabet gelar Master Kajian Teater di Universitas Paris III Sorbonne-Nouvelle.
Magali mengubah apa yang dilihat orang sebagai keterbatasan menjadi sumber kekuatan dalam seni dan tari. Dalam sejumlah panggung pertunjukan di Prancis maupun ranah internasional, ia kerap memanfaatkan kursi rodanya sebagai alat eksplorasi seni.
Penulis buku 'Representasi Perempuan di Tanztheater Wuppertal Pina Bausch' yang terbit pada 2013 itu ingin menghapus stigma masyarakat terhadap difabel. Semakin sering seniman difabel tampil di dunia pertunjukan, diharapkannya dapat menghapus jurang perbedaan dan membuat mereka diakui secara luas.
"Tidak ada seorang pun yang sempurna, tetapi Anda semua bisa menari. Saya harap saya mampu berkontribusi dengan cara saya sendiri dalam menghiasi tari inklusif di Indonesia," kata magali yang akan tampil bersama sejumlah penari Indonesia dan mancanegara dalam The 2nd Indonesian Ballet Gala pada 23 September mendatang.