REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Petani-petani di Bali sejak lama mengantisipasi musim kemarau dengan bertanam palawija. Meski demikian, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Bali, Ida Bagus Wisnu Ardhana mengatakan belum ada kekeringan ekstrem yang melanda areal tanam padi di pulau tersebut.
"Belum ada laporan kekeringan karena saat ini memang bukan musim tanam padi, melainkan palawija," kata Ardhana kepada Republika.co.id, Jumat (15/9).
Tanaman-tanaman palawija, kata Ardhana, relatif adaptif dengan air dan cuaca panas. Petani-petani di Bali sebagian besarnya saat ini tengah bertanam jagung setelah sebelumnya kedelai sekitar Maret.
Pemerintah Provinsi Bali mengasuransikan 29 ribu hektare tanaman padi tahun ini melalui skema Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Luasannya meningkat dari 21 ribu hektare pada 2016. Pada 2018, pemerintah provinsi mengasuransikan 29 ribu hektare sawah. Kriteria gagal panen salah satunya adalah lahan yang mengalami kerusakan 70-75 persen per hektare. Ini akan mendapat klaim dari Jasindo.
"Sejak awal tahun sampai saat ini baru tersalurkan 19 ribu hektare untuk gagal panen," kata Ardhana.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah III Denpasar mendata belum ada informasi kekeringan di sejumlah wilayah Bali sepanjang Mei-Juli 2017. Sebagian besar kondisi wilayah di Bali masih basah, dan sebagiannya masih normal.
Hanya saja, ketersediaan air tanah berkurang, seperti di sebagian wilayah Buleleng, seperti Gerokgak, Sukasada, dan Busungbiu, serta di Kubu dan Nusa Penida. Sebagian lainnya masih normal dan tersedia. Ardhana mengatakan selama ketersediaan air bisa terpenuhi, maka lahan tanam padi yang mengalami kekeringan, mulai dari intensitas ringan, sedang, dan berat tetap bisa diselamatkan.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, Nyoman Swatantra mengatakan Buleleng masuk dalam kategori daerah rawan kekeringan. Hal ini terjadi hampir setiap tahun.
"Ini karena sumber mata air di Buleleng sedikit, sehingga ketersediaan air tidak cukup memenuhi seluruh lahan tanam padi, juga palawija," katanya.
Pemerintah daerah menyiasati hal tersebut dengan memberi bantuan rutin berupa pembuatan sumur tanah dangkal. Ini dikhususkan untuk sawah dataran rendah dengan kedalaman rata-rata 14-25 meter. Pemerintah juga mengadakan sejumlah mesin pompa air.
Tahun ini Buleleng menganggarkan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 2,9 miliar untuk pembuatan sumur tanah dangkal di 15 lokasi. Ada juga Dana Tugas Pembantuan (DTP) untuk memperbaiki jaringan irigasi petani, pengembangan padi inhibidra, dan program lainnya yang mencapai Rp 1,4 miliar.
Tahun ini sebanyak 10 ribu ha sawah di Buleleng telah didaftarkan ke AUTP. Petani diwajibkan membayar premi untuk satu kali masa tanam sebesar Rp 36 ribu per ha lahan per musim tanam, sedangkan sisanya disubsidi pemerintah atau Rp 180 ribu.