Jumat 15 Sep 2017 13:52 WIB

Myanmar Tertutup, Komisi HAM ASEAN Kesulitan Soal Rohingya

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Bocah Rohingya di pengungsian bersama pengungsi lainnya berteduh di sebuah pohon di Ukhiya, Cox Bazaar, Bangladesh
Foto: Abir Abdullah/EPA
Bocah Rohingya di pengungsian bersama pengungsi lainnya berteduh di sebuah pohon di Ukhiya, Cox Bazaar, Bangladesh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini, Komisi HAM ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR) belum mendapatkan temuan apapun secara mandiri soal apa yang terjadi kepada etnis Rohingya di Myanmar. Itu karena Myanmar masih belum bersikap terbuka dengan yang lainnya.

"Saat ini belum bisa dibilang ada temuan karena Myanmar masih belum terbuka. Jalurnya baru dari menteri ke menteri ya, bahkan Au San Suu Kyi baru mau berbicara kepada Menlu kita saja. Di luar itu, informasi yang kita dapat ya dari Amnesty Internasional, BHRN, dan sebagainya," ungkap perwakilan dari Indonesia untuk AICHR, Dinna Wisnu kepada Republika.co.id di The Wahid Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/9).

Untuk itulah, langkah yang Dinna dan kawan-kawan lakukan di AICHR saat ini adala terus berusaha mendekati wakil dari Myanmar. Ia berusaha agar perwakilan Myanmar bisa lebih terbuka, sehingga bisa mencari posisi bersama di AICHR terkait hal-hal yang masih bisa dikerjakan di ASEAN.

"Kita sebetulnya punya dua mandat untuk memperoleh informasi dari Myanmar. Pertama mekanismenya biasanya retreat tertutup, di mana bisa nanya apapun tentang situasi di Myanmar supaya kita tahu ke depannya seperti apa," terang dia.

Dinna melanjutkan, atau bisa juga dengan cara, pihaknya memutuskan bertanya tentang apa saja aspek-aspek tertentu yang perlu diketahui oleh publik. Biasanya dalam bentuk kegiatan pemajuan hak asasi manusia (HAM).

Terkait HAM, menurut Dinna, Komnas HAM atau lembaga kemanusiaan yang ada di Myanmar masih belum berbicara apapun terkait persoalan yang terjadi di Myanmar saat ini. Sebagai perwakilan AICHR, ia merasa prihatin, itu menunjukkan unsur masyarakat sipil di Myanmar masih belum kuat.

"Terbukti mereka belum terlibat sama sekali, bahkan, belum menyuarakan apapun dalam situasi seperti ini. Padahal itu tanggung jawab dari masyarakat sipil untuk bisa merespon dalam kegentingan seperti ini," ujar dia.

Kendati demikian, ia juga memaklumi tak adanya respon dan Komnas HAM atau lembaga kemanusiaan Myanmar. Hal tersebut, menurut Dinna, menggambarkan betapa tak mungkinnya mereka bersuara di sana. "Itu menandakan mereka masih butuh dilindungi. Mereka kan masih takut terkena efek langsung," terang Dinna.

Karena itulah, menurut dia, mereka jangan ditinggal begitu saja. Jangan justru mengembalikan urusan dalam negeri mereka begitu saja. Urusan tersebut harus diintervensi agar mereka mendapatkan angin segar dan merasa aman untuk berbicara.

"Kita harus intervensi agar mereka merasa ada angin dan merasa aman dari desakan yang berwenang. Tadi kan Kyaw Win juga bilang, 'kalau saya saat ini ada di Myanmar, keselamatan saya tak dijamin'. Kasihan kan kalau situasi di lapangan seperti itu siapa yang mau ngomong," jelas Dinna.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement