REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli psikologi dalam persidangan kasus pemberian keterangan tidak benar dalam sidang kasus korupsi proyek KTP elektronik (KTP-el) dengan terdakwa Miryam S Haryani, Reni Kusumawardani memaparkan hasil observasi terstruktur terhadap empat video pemeriksaan Miryam di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Reni mengatakan, berdasarkan hasil observasinya, tidak ditemukan adanya tekanan secara signifkan yang dilakukan penyidik selama proses penyidikan.
"Hasilnya tidak dijumpai secara signifikan tekanan yang dilakukan penyidik selama proses penyidikan," kata Reni dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Senin (18/9).
Hasil pendalaman tim psikologi forensik itu, lanjut Reni, memang menunjukkan ada perasaan stres ataupun perasaan tertekan yang dialami Miryam dalam proses penyidikan di KPK. Jenis tekanan tersebut, kata Reni, adalah tertekan sebagai stimulus atau pemicu.
REni menilai, perasaan tertekan yang dirasakan Miryam tersebut disebabkan oleh hal-hal yang tidak terjadi dalam proses penyidikan di KPK. "Jadi tertekan hal-hal lain yang bukan terjadi pada saat itu. Ada faktor-faktor lain," kata dia.
Kesimpulan itu, papar Reni, didapatkan melalui pencarian konten-konten kalimat yang diucapkan Miryam saat diperiksa di KPK. "Jadi kami menguji dengan mencari konten-konten kalimatnya," lanjut dia.
Dalam sidang, Reni menuturkan, sebelum keluar kesimpulan, tim psikolog forensik ini mengamati video pemeriksaan Miryam dari awal sampai akhir. "Teknik observasi terstruktur, tujuan yang akan dituju untuk menjawab apakah memang ada tekanan yang dilakukan penyidik atau tidak berdasarkan teori," tutur dia.
Pengamatan ini dilihat dari bahasa tubuh yang ditunjukkan Miryam, seperti intonasi suara, posisi duduk, kelopak mata dan banyak hal lainnya. "Dilihat dari tayangan yang tidak hanya satu kali kami saksikan, kita code (tandai), terus kita diskusikan bertiga untuk menghindari subyektifitas, lalu kita luncurkan tayangan ulang video yang dimaksud," kata dia.